Master of Civic Lawhttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/1842024-03-28T20:59:45Z2024-03-28T20:59:45ZKONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PENGEDAR SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKAISKANDAR, FARIDhttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/358342020-10-30T03:50:48Z2020-01-01T00:00:00ZPelaku penyalah guna narkotika, khususnya pengedar telah banyak ditangkap, dipidana penjara maupun denda, namun peredaran maupun penyalahgunaan narkotika masih marak dilakukan. Sanksi yang dikenakan kepada tersangka seolah tidak memiliki efek jera. Selama ini, biaya rehabilitasi bagi pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkotika ditanggung oleh Negara.
Penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika; hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika; dan pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika terhadap korban penyalahgunaan narkotika diterapkan di masa yang akan datang. Melalui analisis kualitatif dikaitkan dengan teori-teori hukum yang terkait langsung dengan penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika saat ini berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sanksi pidananya hanya dikenakan pidana penjara dan denda, belum mengatur sanksi lain terhadap pengedar; Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika, jika dilihat barang bukti yang ditemukan bisa ditentukan apakah terdakwa seorang pengguna atau pengedar. Biasanya seorang pengedar ia juga sebagai pengguna. Hal yang sulit adalah penerapan sanksi bagi pengguna sekaligus pengedar narkotika, meskipun telah ada ketentuannya, namun hakim tetap diberi kekuasaan menghukum terdakwa dengan pidana penjara dan/atau rehabilitasi, apabila ia seorang pengedar narkotika harus dihukum dengan seberat-beratnya; dan Pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika terhadap korban penyalahgunaan narkotika diterapkan di masa yang akan datang, bahwa Undang-undang Narkotika sekarang sudah mengatur tentang sanksi bagi pengedar adalah penjara dan denda. Tesis ini menawarkan konsep baru, selain pidana penjara dan denda, pengedar juga dibebankan biaya rehabilitasi bagi korbannya. Konsep pembebanan biaya rehabilitasi ini penulis adopsi dari teori qishas yang merupakan bagian dari hukum pidana Islam yang selama ini sudah diterapkan di Arab Saudi. Penulis menawarkan konsep pembebanan biaya rehabilitasi karena selama ini sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pengedar belum mempunyai efek jera dan prihatin terhadap kondisi korban yang diputus rehabilitasi tetapi tidak mampu, sehingga penulis merasa perlu membangun konsep pertanggungjawaban bagi pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika berupa penambahan sanksi pidana pembebanan biaya rehabilitasi bagi korban dan korban merasakan dampak langsung dari pertanggungjawaban pidana dimaksud.
Pelaku penyalah guna narkotika, khususnya pengedar telah banyak ditangkap, dipidana penjara maupun denda, namun peredaran maupun penyalahgunaan narkotika masih marak dilakukan. Sanksi yang dikenakan kepada tersangka seolah tidak memiliki efek jera. Selama ini, biaya rehabilitasi bagi pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkotika ditanggung oleh Negara.
Penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika; hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika; dan pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika terhadap korban penyalahgunaan narkotika diterapkan di masa yang akan datang. Melalui analisis kualitatif dikaitkan dengan teori-teori hukum yang terkait langsung dengan penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika saat ini berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sanksi pidananya hanya dikenakan pidana penjara dan denda, belum mengatur sanksi lain terhadap pengedar; Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika, jika dilihat barang bukti yang ditemukan bisa ditentukan apakah terdakwa seorang pengguna atau pengedar. Biasanya seorang pengedar ia juga sebagai pengguna. Hal yang sulit adalah penerapan sanksi bagi pengguna sekaligus pengedar narkotika, meskipun telah ada ketentuannya, namun hakim tetap diberi kekuasaan menghukum terdakwa dengan pidana penjara dan/atau rehabilitasi, apabila ia seorang pengedar narkotika harus dihukum dengan seberat-beratnya; dan Pertanggungjawaban pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika terhadap korban penyalahgunaan narkotika diterapkan di masa yang akan datang, bahwa Undang-undang Narkotika sekarang sudah mengatur tentang sanksi bagi pengedar adalah penjara dan denda. Tesis ini menawarkan konsep baru, selain pidana penjara dan denda, pengedar juga dibebankan biaya rehabilitasi bagi korbannya. Konsep pembebanan biaya rehabilitasi ini penulis adopsi dari teori qishas yang merupakan bagian dari hukum pidana Islam yang selama ini sudah diterapkan di Arab Saudi. Penulis menawarkan konsep pembebanan biaya rehabilitasi karena selama ini sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pengedar belum mempunyai efek jera dan prihatin terhadap kondisi korban yang diputus rehabilitasi tetapi tidak mampu, sehingga penulis merasa perlu membangun konsep pertanggungjawaban bagi pengedar sebagai pelaku tindak pidana narkotika berupa penambahan sanksi pidana pembebanan biaya rehabilitasi bagi korban dan korban merasakan dampak langsung dari pertanggungjawaban pidana dimaksud.
KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PENGEDAR SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
2020-01-01T00:00:00ZPENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PEMANFAATAN RUANG DALAM ISU PEMBANGUNAN SARANA AKOMODASI PARIWISATA DI GILI TRAWANGANSaputra, Lalu Alvian Dwi Nugrahahttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/357392020-10-22T04:35:11Z2020-06-20T00:00:00ZPenegakan hukum merupakan hal yang penting dan esensial dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Pemda kabupaten Lombok Utara telah memiliki peraturan daerah tentang penataan ruang, namun masih saja ditemui pelanggaran di lapangan sehingga diharapkan hukum bisa ditegakkan seadil adilnya guna memberikan keefektifan pemanfaatan ruang dalam isu pembangunan sarana akomodasi pariwisata di daerah Gili Trawangan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui dan mengkaji faktor-faktor penyebab pelanggaran penataan tata ruang di Gili Trawangan (2) Mengkaji dan menganalisis implementasi peraturan perundang undangan tentang penataan ruang di Gili Trawangan (3) Menyusun konsep kedepan guna penegakan hukum terkait penataan ruang di Gili Trawangan.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian yuridis empiris (sociolegal research).Teknik pengumpulan data dengan cara observasi langsung ke lapangan, melakukan wawancara kepada instansi dan masyarakat yang terkait dengan penelitian ini dan mendokumentasi masalah yang ada di Gili Trawangan.
Hasil penelitian ini bahwa factor-faktor penyebab pelanggaran pemanfaatan ruang dalam isu pembangunan sarana akomodasi di gili trawangan adalah dapat dikategorisasikan ke dalam dua bentuk faktor penyebab, yaitu: faktor ruang lingkup regulasi RTRW dan faktor konstelasi politik lokal yang tengah berlangsung. Sedangkan aspek implementasi kebijakan hukum tata ruang wilayah memiliki hubungan kausalitas dengan intensitas jumlah pelanggaran pembangunan akomodasi sarana pariwisata yang ditemukan dikawasan Gili Trawangan. Komitmen atas meminimalisir intesitas pelanggaran ini kemudian Pemerintah Daerah memformulasikan beberapa kebijakan yang bersifat korelatif terhadap instrumentasi hukum tata ruang wilayah, mulai dari penerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara, nomor 10 tahun 2015, tentang aturan bangunan gedung. Selanjutnya untuk membatasi pelanggaran pembangunan yang berimplikasi pada krisis ekologis, pihak Pemda Lombok Utara telah menyusun dan penerbitkan Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Lombok Utara, nomor 9 tahun 2017.
Penegakan hukum merupakan hal yang penting dan esensial dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Pemda kabupaten Lombok Utara telah memiliki peraturan daerah tentang penataan ruang, namun masih saja ditemui pelanggaran di lapangan sehingga diharapkan hukum bisa ditegakkan seadil adilnya guna memberikan keefektifan pemanfaatan ruang dalam isu pembangunan sarana akomodasi pariwisata di daerah Gili Trawangan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui dan mengkaji faktor-faktor penyebab pelanggaran penataan tata ruang di Gili Trawangan (2) Mengkaji dan menganalisis implementasi peraturan perundang undangan tentang penataan ruang di Gili Trawangan (3) Menyusun konsep kedepan guna penegakan hukum terkait penataan ruang di Gili Trawangan.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian yuridis empiris (sociolegal research).Teknik pengumpulan data dengan cara observasi langsung ke lapangan, melakukan wawancara kepada instansi dan masyarakat yang terkait dengan penelitian ini dan mendokumentasi masalah yang ada di Gili Trawangan.
Hasil penelitian ini bahwa factor-faktor penyebab pelanggaran pemanfaatan ruang dalam isu pembangunan sarana akomodasi di gili trawangan adalah dapat dikategorisasikan ke dalam dua bentuk faktor penyebab, yaitu: faktor ruang lingkup regulasi RTRW dan faktor konstelasi politik lokal yang tengah berlangsung. Sedangkan aspek implementasi kebijakan hukum tata ruang wilayah memiliki hubungan kausalitas dengan intensitas jumlah pelanggaran pembangunan akomodasi sarana pariwisata yang ditemukan dikawasan Gili Trawangan. Komitmen atas meminimalisir intesitas pelanggaran ini kemudian Pemerintah Daerah memformulasikan beberapa kebijakan yang bersifat korelatif terhadap instrumentasi hukum tata ruang wilayah, mulai dari penerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara, nomor 10 tahun 2015, tentang aturan bangunan gedung. Selanjutnya untuk membatasi pelanggaran pembangunan yang berimplikasi pada krisis ekologis, pihak Pemda Lombok Utara telah menyusun dan penerbitkan Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Lombok Utara, nomor 9 tahun 2017.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PEMANFAATAN RUANG DALAM ISU PEMBANGUNAN SARANA AKOMODASI PARIWISATA DI GILI TRAWANGAN
2020-06-20T00:00:00ZTINDAK PIDANA KORUPSI DALAM BIDANG PERTANAHAN DI INDONESIA (Suatu Kajian Kritis Terhadap Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)Wirawan, Vanihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/357342020-10-22T03:06:11Z2020-06-20T00:00:00ZThe Complete Systematic Land Registration Program as one
of the embodiments of government innovation through the
ATR/BPN Ministry for national land certification as a
manifestation of the implementation of government
obligations to ensure legal certainty and protection of
community land ownership. However, in reality, the process
of carrying out these activities is in several areas that are
already in the category of corruption that have been decided
and have permanent legal force. This study aims firstly to
identify the factors that cause corruption in some PTSL
implementations, secondly to evaluate the perspective of law
enforcement of PTSL corruption that is primum remedium
based on the principles of Good Governance General
Principle, third, to develop the ideal concept adopted by the
government as anti-corruption program efforts in the
implementation of national strategic land programs, especially
PTSL in the future. This research is analytical descriptive
with normative law research. The research approach method
used in writing this law is the Statute Approach, Conceptual
Approach, Analytical Approach, and Case Approach.
The results of the discussion and research can be concluded
that the causes of the occurrence of criminal acts of corruption
in several PTSL implementation, due to direct factors: (1)
Opportunities, in terms of sufficient opportunities in
committing criminal acts of corruption of PTSL; (2)
Intentions and/or desires, in the sense of being encouraged
because of the need in implementing PTSL; and (3) Lack of
honorarium/salary of PTSL implementing committees,
indirect factors: (1) Lack of detailed information to the public
regarding PTSL rules and technical guidelines; (2) Lack of
basic legal information about financing PTSL applications;
and (3) Weak socialization and supervision from BPN and the
Regional Government. The law enforcement of PTSL
corruption which is primum remedium based on the AUPB
principle has the viewpoint of conformity and the fulfillment
of the intentions of the entire principles contained in Article 3
of Law Number 28 of 1999 concerning State Administration
that is Clean and Free of Corruption, Collusion and Nepotism,
and Article 10 paragraph (1) of Law Number 30 Year 2014
concerning Government Administration. The ideal concept in
the future that should be taken by the government as an anticorruption
program (fraud control plan) towards the national
strategic land program, especially PTSL, is the need for an
ideal concept consisting of external and internal concepts.
Some of the ideal concepts that are needed in the efforts of
anti-corruption programs (fraud control plan) on national
strategic land programs, especially PTSL in the future, are
also needed by government steps to conduct evaluations,
updates, and/or changes to the provisions of the Joint
Ministerial Decree 3 especially in the substance of the
Seventh Dictum.
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
sebagai salah satu perwujudan inovasi pemerintah melalui
Kementerian ATR/BPN untuk sertifikasi tanah secara
nasional sebagai wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah
untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas
kepemilikan tanah masyarakat. Namun dalam kenyataanya
proses pelaksanan kegiatan tersebut ada dibeberapa wilayah
yang telah terdapat dalam kategori tindak pidana korupsi yang
sudah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penelitian ini bertujuan pertama untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
korupsi dalam beberapa pelaksanaan PTSL, kedua
mengevaluasi sudut pandang penegakan hukum tindak pidana
korupsi PTSL yang bersifat primum remedium berdasarkan
prinsip Asas Umum Pemerintahan yang Baik, ketiga
mengembangkan konsep ideal yang ditempuh pemerintah
sebagai upaya program anti korupsi dalam pelaksanaan
program-program strategis nasional pertanahan khususnya
PTSL di masa mendatang. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis dengan jenis penelitian hukum normatif (normative
law research). Metode pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penulisan hukum ini adalah Pendekatan Undang-
Undang (Statute Approach), Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach), Pendekatan Analitis (Analytical
Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Hasil
pembahasan dan penelitian dapat disimpulkan bahwa
penyebab terjadinya tindak pidana korupsi didalam beberapa
pelaksanaan PTSL, dikarenakan faktor langsung: (1)
Kesempatan, dalam artian peluang yang cukup dalam
melakukan tindak pidana korupsi PTSL; (2) Kesengajaan
dan/atau keinginan, dalam artian didorong karena kebutuhan
dalam pelaksanaan PTSL; dan (3) Kurangnya honorarium/gaji
para panitia pelaksana PTSL, faktor tidak langsung: (1)
Kurangnya informasi yang detail terhadap masyarakat terkait
aturan dan petunjuk teknis PTSL; (2) Kurangnya informasi
dasar hukum tentang pembiayaan permohonan PTSL; dan (3)
Lemahnya sosialisasi dan pengawasan dari pihak BPN serta
Pemerintah Daerah. Penegakan hukum tindak pidana korupsi
PTSL yang bersifat primum remedium berdasarkan prinsip
AUPB mempunyai sudut pandang kesesuaian dan
terpenuhinya maksud dari keseluruhan asas yang terdapat
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi Kolusi dan Nepotisme, serta Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Konsep ideal dimasa mendatang yang
seharusnya ditempuh pemerintah sebagai upaya program anti
korupsi (fraud control plan) terhadap program strategis
nasional pertanahan khususnya PTSL yakni dibutuhkannya
konsep ideal yang terdiri dari konsep ekternal dan konsep
internal. Beberapa konsep ideal tersebut yang dibutuhkan
dalam upaya program anti korupsi (fraud control plan)
terhadap program strategis nasional pertanahan khususnya
PTSL dimasa mendatang, diperlukan juga langkah pemerintah
yakni melakukan evaluasi, pembaharuan, dan/atau perubahan
terhadap ketentuan SKB 3 Menteri terkhususnya dalam
substansi Diktum Ketujuh.
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM BIDANG PERTANAHAN DI INDONESIA (Suatu Kajian Kritis Terhadap Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)
2020-06-20T00:00:00ZMEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA KETENAGAKERJAAN, DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN TENAGA KERJA KABUPATEN PURWOREJO (Studi Kasus Pekerja Anak di Bawah Umur)Hariyono, Teguhhttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/357322020-10-22T02:59:04Z2020-06-20T00:00:00ZPenal mediation is a means to seek justice that is able to provide what is necessary and acceptable to both parties outside the court in the case of labor criminal acts specifically for older child laborers.
This study aims to analyze how the implementation of Penal mediation in Purworejo District labor, in an effort to collect information about how to develop minors. Based on law number 13 of 2003 concerning labor and law number 35 of 2014 concerning child protection, and analyzing future concepts in efforts to prevent the implementation of criminal mediation in labor crime.
This type of research is an empirical juridical approach to legislation, case approaches, sociological approaches and concept approaches. Primary data sources are underage child laborers affected by layoffs amounting to 2 (two) children and secondary data sources are binding legal regulations. Data collection techniques using the interview method and the study of statutory regulations. Data analysis uses qualitative analysis.
The presence of penal mediation is deemed necessary by the community as a means of resolving labor cases that are fast, economical, and acceptable by parties outside the court, this is in line with the habits or customs of Indonesian people who are still using or applying dat laws as legal live in their community or region, the implementation of criminal law through mediation of penalties is a good step win win solution, and a means to develop future concepts in overcoming obstacles in implementing mediation of penalties when no agreement is reached. Elegant or important ways or breakthroughs are needed. contrary to the laws above.
In the implementation of the industry service and purworejo workers, counseling on mediation of the law continues and completes the facilities and infrastructure to form an information network, empowering the role of the community where the implementation of penal mediation on underage child labor will bring justice and peace to victims and perpetrators. Keywords: law enforcement, criminal act, online gambling
Mediasi penal adalah sarana untuk mencari keadilan yang mampu memberikan penyelesaian yang menyeluruh dan dapat diterima oleh kedua belah pihak di luar pengadilan dalam hal perkara-perkara tindak pidana ketenagakerjaan khusus pekerja anak di bawah umur.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan mediasi penal di dinas perindustrian dan tenaga kerja kabupaten Purworejo, dalam perkara tindak pidana ketenagakerjaan khususnya tentang memperkerjakan anak di bawah umur. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan menganalisis konsep dimasa yang akan datang dalam mengatasi hambatan pelaksanaan mediasi penal dalam tindak pidana ketenagakerjaan.
Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan sosiologi dan pendekatan konsep. Sumber data primer adalah pekerja anak di bawah umur yang kena dampak PHK berjumlah 2 (dua) orang anak dan sumber data sekunder adalah peraturan perundang undangan hukum yang mengikat. Teknik pengumpulan data menggunakan metode interview dan studi peraturan perundang-undangan. Analisis data menggunakan analisa kualitatif.
Kehadiran mediasi penal dipandang perlu oleh masyarakat sebagai sarana penyelesaian perkara-perkara pidana ketenagakerjaan yang cepat, ekonomis, dan dapat diterima oleh para pihak di luar pengadilan, ini selaras dengan kebiasaan atau adat istiadat masyarakat Indonesia yang masih mengunakan atau menerapkan hukuman dan sebagai hukum yang hidup di komunitasnya atau wilayahnya. Pelaksanaan pidana melalui mediasi penal adalah merupakan langkah yang bagus win win solution, dan sarana untuk menyusun konsep masa depan dalam mengatasi hambatan pelaksanaan mediasi penal bilamana tidak tercapai kesepakatan diperlukan cara-cara atau terobosan yang elegan dan yang terpenting tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang di atasnya.
Dalam pelaksanaannya Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Purworejo mengadakan penyuluhan tentang mediasi penal secara kontinu dan melengkapi sarana dan prasarana untuk membentuk jaringan informasi, memberdayakan peran masyarakat dimana pelaksanaan mediasi penal pada pekerja anak dibawah umur akan membawa keadilan dan kedamaian bagi korban dan pelakunya.
MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA KETENAGAKERJAAN, DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN TENAGA KERJA KABUPATEN PURWOREJO (Studi Kasus Pekerja Anak di Bawah Umur)
2020-06-20T00:00:00Z