Show simple item record

dc.contributor.advisorNUGROHO, BAMBANG WAHYU
dc.contributor.authorSULISTYO, EKO
dc.date.accessioned2017-09-02T03:34:39Z
dc.date.available2017-09-02T03:34:39Z
dc.date.issued2017-05-10
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/14319
dc.descriptionSecara umum, implementasi program REDD+ di Indonesia melibatkan hubungan yang kompleks antara aktor, isu, dan lembaga. Namun demikian dari hasil penelitian ini saya dapat menyimpulkan bahwa dalam konteks ini korupsi menjadi semacam virus kanker ganas yang dapat menggagalkan perhatian dan upaya global menghadapi perubahan iklim serta dampaknya bagi kehidupan manusia di bumi. Selama fase persiapan dari tahun 2009 hingga 2010, Indonesia telah gagal, atau setidaknya kurang efektif dalam menunjukkan konsistensi, transparansi, dan ketepatan dalam membangun kerangka kelembagaan dan kerangka kebijakan program REDD+ tersebut. Tentu saja bahwa kerangka REDD+ harus memuat insentif bagi semua negara yang memiliki hutan hujan tropis, sekalipun tidak akan dibayarkan hingga negara tersebut dapat mencapai status yang dipersyaratkan. lebih-lebih, jika kelompok strategis yang bekerja di negara tersebut telah meninggalkan tempat, maka urusan deforestasi dan degradasi hutan itu akan sepenuhnya menjadi wilayah yurisdiksi mereka. Jika secara kelembagaan dan jaringan sosial tidak dibangun secara kokoh, maka akibat-akibat yang menjadi pertanda kegagalan dalam menghadapi perubahan iklim pun dapat kembali muncul. Di samping menghambur-hamburkan uang, dampak negatf korupsi di sektor kehutanan, dalam hal deforestasi, dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan publik. Dengan demikian, laju deforestasi dan degradasi hutan dapat diminimalisir hanya apabila korupsi yang merajalela tersebut dapat dikikis habis.en_US
dc.description.abstractSecara umum, implementasi program REDD+ di Indonesia melibatkan hubungan yang kompleks antara aktor, isu, dan lembaga. Namun demikian dari hasil penelitian ini saya dapat menyimpulkan bahwa dalam konteks ini korupsi menjadi semacam virus kanker ganas yang dapat menggagalkan perhatian dan upaya global menghadapi perubahan iklim serta dampaknya bagi kehidupan manusia di bumi. Selama fase persiapan dari tahun 2009 hingga 2010, Indonesia telah gagal, atau setidaknya kurang efektif dalam menunjukkan konsistensi, transparansi, dan ketepatan dalam membangun kerangka kelembagaan dan kerangka kebijakan program REDD+ tersebut. Tentu saja bahwa kerangka REDD+ harus memuat insentif bagi semua negara yang memiliki hutan hujan tropis, sekalipun tidak akan dibayarkan hingga negara tersebut dapat mencapai status yang dipersyaratkan. lebih-lebih, jika kelompok strategis yang bekerja di negara tersebut telah meninggalkan tempat, maka urusan deforestasi dan degradasi hutan itu akan sepenuhnya menjadi wilayah yurisdiksi mereka. Jika secara kelembagaan dan jaringan sosial tidak dibangun secara kokoh, maka akibat-akibat yang menjadi pertanda kegagalan dalam menghadapi perubahan iklim pun dapat kembali muncul. Di samping menghambur-hamburkan uang, dampak negatf korupsi di sektor kehutanan, dalam hal deforestasi, dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan publik. Dengan demikian, laju deforestasi dan degradasi hutan dapat diminimalisir hanya apabila korupsi yang merajalela tersebut dapat dikikis habis.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFISIPOL UMYen_US
dc.subjectDEFORESTASIen_US
dc.subjectDEGRADASI HUTANen_US
dc.titleHAMBATAN BAGI INDONESIA DALAM MENGATASI PROBLEM DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTANen_US
dc.typeThesis SKR FISIP 185en_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record