Show simple item record

dc.contributor.advisorWARSITO, TULUS
dc.contributor.authorFIQRI, IZZUL
dc.date.accessioned2018-03-13T01:49:35Z
dc.date.available2018-03-13T01:49:35Z
dc.date.issued2015
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/17875
dc.descriptionBerdasarkan penjelasan-penjelasan pada Bab II, Bab III, dan Bab IV, maka penelitian tentang Kerjasama Sister City Antara Kota Yogyakarta, Indonesia, dan Distrik Commewijne, Suriname, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, rasionalisasi suatu negara atau daerah dalam memutuskan kerjasama internasional dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang bersifat kompleks. Kondisi-kondisi tersebut dapat meliputi kondisi alam, perekenomian, kebudayaan, dan pendidikan. Kenyataan ini membuktikan bahwa suatu teori yang menyebutkan motif ekonomi merupakan satu-satunya motif kerjasama internasional terbukti tidak relevan. Sehingga, makna kesejahteraan tidak hanya diukur dari kekayaan ekonomis tapi juga terkait dengan sejauhmana pendidikan, kebudayaan, dan kondisi alam dapat memberikan manfaat poistif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Kedua, kerjasama internasional yang melibatkan aktor non-negara tetap membutuhkan legalitas hukum dari negara. Artinya, legalitas hukum memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi keberlangsungan kerjasama internasional. Ruang lingkup kerjasama internasional yang dapat meliputi berbagai bidang dan lintas bangsa (transnasional) memiliki potensi besar bagi terjadinya penyimpangan. Selain itu, dinamika ekonomi-politik global yang sangat dinamis sangat memungkinkan adanya perubahan sikap dan kebijakan sebagai bentuk penyesuaian- penyesuaian atas realitas global. Karena itu, legalitas hukum diperlukan untuk menjamin bahwa kerjasama internasional yang dilakukan oleh kedua belah pihak, termasuk pula dengan kerjasama sister city antara Kota Yogyakarta dan Distrik Commewijne, dapat berlangsung sampai mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati dalam memorandum of understanding (MoU). Ketiga, kerjasama internasional yang berbentuk kerjasama sister city sangat dipengaruhi oleh adanya kesamaan antara dua daerah atau kota yang terlibat. Kesamaan-kesamaan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: persamaan kedudukan dan status administrasi daerah, kesamaan karakteristik, dan kesamaan permasalahan. Namun demikian, karena kerjasama sister city selalu diawali oleh adanya kerjasama antara dua negara dimana daerah itu berkedudukan, maka pembentukan kerjasama sister city harus tetap mempertimbangkan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Kerjasama sister city, dengan demikian, merupakan sarana bagi pengembangan potensi-potensi daerah yang bersifat khusus, misalnya karena kesamaan budaya dan sektor pembangunan yang dijadikan andalan oleh dua daerah yang bersepakat melakukan kerjasama sister city. Keempat, keberhasilan kerjasama sister city, sebagaimana kerjasama-kerjasama internasional lainnya, juga ditentukan oleh berbagai faktor penghambat dan faktor pendorong. Berbagai faktor penghambat kerjasama sister city dapat berupa kapasitas IPTEK yang dimiliki dua daerah, sistem politik dan masyarakat lokal, sistem pendidikan, jarak kedua daerah, dan prosedur penetapan anggaran daerah. Sedangkan, faktor pendorong terbentuknya kerjasama sister city menyangkut kesamaan-kesamaan dua daerah, stabilitas keamanan, dan legalitas hukum yang memungkinkan bagi daerah untuk menjalin kerjasama internasional secara langsung. Sehingga, apabila suatu daerah yang menjalin kerjasama internasional dengan daerah lain benar-benar ingin berhasil dan mendapatkan manfaat yang maksimal dari kerjasama tersebut harus mampu meminimalkan faktor penghambat dan memaksimalkan faktor pendorong yang telah disebutkan di atas. Kelima, bidang-bidang kerjasama dalam kerangkan kerjasama sister city dapat meliputi berbagai bidang atau sektor, misalnya: kebudayaan, pariwisata, pendidikan, dan lain sebagainya. Kerjasama ini memang lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan daerah yang terlibat dalam kerjasama sister city. Artinya, kerjasama sister city akan lebih menguntungkan dibandingkan kerjasama internasional antara kedua negara, apalagi di era globalisasi dan teknologi informasi yang sangat pesat, kapasitas negara untuk membantu daerah-daerah di dalam teritorialnya sangat terbatas. Karena itu, kedepan kerjasama sister city seperti yang dilakukan Kota Yogyakarta dan Distrik Commewijne harus terus dikembangkan.en_US
dc.description.abstractBerdasarkan penjelasan-penjelasan pada Bab II, Bab III, dan Bab IV, maka penelitian tentang Kerjasama Sister City Antara Kota Yogyakarta, Indonesia, dan Distrik Commewijne, Suriname, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, rasionalisasi suatu negara atau daerah dalam memutuskan kerjasama internasional dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang bersifat kompleks. Kondisi-kondisi tersebut dapat meliputi kondisi alam, perekenomian, kebudayaan, dan pendidikan. Kenyataan ini membuktikan bahwa suatu teori yang menyebutkan motif ekonomi merupakan satu-satunya motif kerjasama internasional terbukti tidak relevan. Sehingga, makna kesejahteraan tidak hanya diukur dari kekayaan ekonomis tapi juga terkait dengan sejauhmana pendidikan, kebudayaan, dan kondisi alam dapat memberikan manfaat poistif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Kedua, kerjasama internasional yang melibatkan aktor non-negara tetap membutuhkan legalitas hukum dari negara. Artinya, legalitas hukum memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi keberlangsungan kerjasama internasional. Ruang lingkup kerjasama internasional yang dapat meliputi berbagai bidang dan lintas bangsa (transnasional) memiliki potensi besar bagi terjadinya penyimpangan. Selain itu, dinamika ekonomi-politik global yang sangat dinamis sangat memungkinkan adanya perubahan sikap dan kebijakan sebagai bentuk penyesuaian- penyesuaian atas realitas global. Karena itu, legalitas hukum diperlukan untuk menjamin bahwa kerjasama internasional yang dilakukan oleh kedua belah pihak, termasuk pula dengan kerjasama sister city antara Kota Yogyakarta dan Distrik Commewijne, dapat berlangsung sampai mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati dalam memorandum of understanding (MoU). Ketiga, kerjasama internasional yang berbentuk kerjasama sister city sangat dipengaruhi oleh adanya kesamaan antara dua daerah atau kota yang terlibat. Kesamaan-kesamaan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: persamaan kedudukan dan status administrasi daerah, kesamaan karakteristik, dan kesamaan permasalahan. Namun demikian, karena kerjasama sister city selalu diawali oleh adanya kerjasama antara dua negara dimana daerah itu berkedudukan, maka pembentukan kerjasama sister city harus tetap mempertimbangkan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Kerjasama sister city, dengan demikian, merupakan sarana bagi pengembangan potensi-potensi daerah yang bersifat khusus, misalnya karena kesamaan budaya dan sektor pembangunan yang dijadikan andalan oleh dua daerah yang bersepakat melakukan kerjasama sister city. Keempat, keberhasilan kerjasama sister city, sebagaimana kerjasama-kerjasama internasional lainnya, juga ditentukan oleh berbagai faktor penghambat dan faktor pendorong. Berbagai faktor penghambat kerjasama sister city dapat berupa kapasitas IPTEK yang dimiliki dua daerah, sistem politik dan masyarakat lokal, sistem pendidikan, jarak kedua daerah, dan prosedur penetapan anggaran daerah. Sedangkan, faktor pendorong terbentuknya kerjasama sister city menyangkut kesamaan-kesamaan dua daerah, stabilitas keamanan, dan legalitas hukum yang memungkinkan bagi daerah untuk menjalin kerjasama internasional secara langsung. Sehingga, apabila suatu daerah yang menjalin kerjasama internasional dengan daerah lain benar-benar ingin berhasil dan mendapatkan manfaat yang maksimal dari kerjasama tersebut harus mampu meminimalkan faktor penghambat dan memaksimalkan faktor pendorong yang telah disebutkan di atas. Kelima, bidang-bidang kerjasama dalam kerangkan kerjasama sister city dapat meliputi berbagai bidang atau sektor, misalnya: kebudayaan, pariwisata, pendidikan, dan lain sebagainya. Kerjasama ini memang lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan daerah yang terlibat dalam kerjasama sister city. Artinya, kerjasama sister city akan lebih menguntungkan dibandingkan kerjasama internasional antara kedua negara, apalagi di era globalisasi dan teknologi informasi yang sangat pesat, kapasitas negara untuk membantu daerah-daerah di dalam teritorialnya sangat terbatas. Karena itu, kedepan kerjasama sister city seperti yang dilakukan Kota Yogyakarta dan Distrik Commewijne harus terus dikembangkan.en_US
dc.publisherFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTAen_US
dc.subjectSISTER CITYen_US
dc.subjectDISTRIK COMMEWIJNEen_US
dc.titleKERJASAMA SISTER CITY ANTARA KOTA YOGYAKARTA DENGAN DISTRIK COMMEWIJNE TAHUN 2011en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record