Show simple item record

dc.contributor.advisorAHMADI, SIDIQ
dc.contributor.authorSANDRIA, ADE FITRA
dc.date.accessioned2018-05-23T02:55:09Z
dc.date.available2018-05-23T02:55:09Z
dc.date.issued2018-04-19
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/18990
dc.description.abstractOrganisasi Kerjasama Islam (OKI) yang bersifat antarpemerintahan, organisasi ini merupakan organisasi terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-bangsa dengan beranggotakan 57 negaratersebar lebih dari empat benua.ini adalah suara kolektif dunia Muslim. Organisasi iniberupaya untuk menjaga dan melindungi kepentingan dunia Muslim dalam semangat mempromosikan perdamaian internasional dan harmoni antara berbagai orang di dunia.Organisasi ini didirikan berdasarkan keputusan KTT sejarah yang berlangsung di Rabat, Kerajaan Maroko pada 12 Rajab 1389 Hijra (25 September 1969) setelah pembakaran kriminal dari Masjid Al-Aqsa di pendudukan Yerusalem. OKI sendiri memiliki prinsip Organisasi yang pada dasarnya untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama antar negara-negara terutama negara Muslim. OKI sebagai organisasi yang dibentuk oleh negara-negara islam bergerak dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan perdamaian. Perdamaian yang selama ini diupayakan oleh OKI salah satunya yaitu Palestina dan Israel. Selain itu masih ada contoh lain upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh OKI, salah satunya yakni konflik di Mindanao yakni antara penduduk muslim Moro dan Pemerintah Filipina. Di konflik ini OKI sebagai organisasi yang menjunjung solidaritas terhadap umat muslim muncul untuk menjadi mediator dalam konflik ini. OKI pada awal mulanya diminta oleh pemimpin MNLF untuk menjadi mediator dalam konflik ini dan OKI dibantu dengan PBB untuk menyelsaikan pemasalahan karena OKI dianggap organisasi Islam dan lebih bias diterima masyarakat moro dalam menyelsaikan konflik yang sudah berangsur sejak lama. Suku Moro sendiri adalah penduduk muslim asli yang berdiam di Mindanao, Filipina Selatan. Penduduk muslim di Mindanao atau suku Moro ini hidup dengan menerapkan norma-norma dan hukum islam yang sudah diterapkan sejak dahulu. Konflik Mindanao sendiri merupakan konflik yang muncul di abad ke 15 dari perlawanan Penduduk Mindanao terhadap kolonialisasi pemerintah Spanyol ketika berhasil menguasai Kepulauan Luzon dan hendak memperluas daerah kekuasaan ke selatan Filipina yakni Mindanao. Kolonialisasi berpindah tangan dari Spanyol ke AS menjelang perang dunia ke II. Perpindahan kolonialisasi menjadi nilai positif karena para Datus yang merupakan representasi pemimpin politik dan kebudayaan di Mindanao diberikan ruang untuk mempertahankan budaya Islam yang ada di Mindanao. Pada tahun 1926 mulai terjadi konflik antara pemerintah AS dan penduduk Mindanao disebabkan oleh kebijakan AS yang menggabungkan pemerintah yang berada di Luzon dengan yang ada di Mindanao melalui kebijakan Bacon Bill. Kebijakan tersebut menuait protes dari masyarakat dan datus di Mindanao namun pemerintah AS tetap melaksanakan kebijakan tersebut dan Filipina merdeka dengan memasukkan wilayah Mindanau sebagai wilayah administratif dari negara Filipina. Kemerdekaan Filipina disambut baik oleh masyarakat Filipina kecuali wilayah Mindanao yang merasa tidak satu identitas dengan orang Luzon yang non Muslim. Hal ini menyebabkan konflik yang mulai terjadi pada 4 Juli 1946, yaitu terjadi konflik antara pemerintah Filipina dengan masyarakat Mindanao yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Filipina yang ingin mengapus hukum-hukum Islam dan diganti dengan hukum yang berlaku di Filipina. Tahun 1970-an merupakan periode paling kejam dalam perjuangan MNLF untuk Setelah itu gagalnya FPA ditandai juga saat Fidel Ramos digantikan oleh Estrada. Proses perdamian yang sudah digagas dan diperjuangkan oleh presiden sebelumnya justru tidak diteruskan dan tidak ditatai oleh presiden Estrada. Sikap all out war terhadap MILF justru dibuat oleh Estrada. Pengakuan MNLF sebagai perwakilan Mindanao mebuat MILF diserang oleh pemerintah Filipina, Estrada beranggapan bahwa untuk mencapai perdamaian abadi adalah dengan membantai semua MILF dan institusinya. OKI melakukan upaya penuh dalam kejadian tersebut, OKI mengupayakan pertemuan tripartit antar kedua belah pihak pasca kejadian tersebut dimana pertemuan tersebut antara MILF, Pemerintah Filipina dan OKI. Pasca pertemuan tripartit yang diadakan beberapakali ini konflik juga tidak lantas mereda, pada tahun 2012 terjadi serangan bersenjata kembali di cotabato city dan membuat OKI terus melakukan upaya kembali untuk mencari perdamaian yang abadi antara kedua belah pihak ini sendiri. Pada tahun 2015 menjadi sejarah terkelam di Mindanao dengan tewasnya 44 komando polisi yang bentrok dengan pemberontak di selatan Filipina. (BBC, 2015). Hal ini membuat OKI kembali tergerak dalam konflik ini, sebagai organisasi yang turut serta menjaga perdamaian di selatan Filipina OKI mengirimkan dutanya untuk perundingan dengan kedua belah pihak agar kejadian ini tidak berkepankangan. Pada tahun 2017 OKI masih mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak karena OKI masih dianggap dunia Internasional dikarenakan keberhasilan menciptakan Final Peace Agreement. Pendekatan kepada kedua belah pihak dilakukan oleh OKI dimana OKI mengutus dutanya untuk berunding dengan presiden Duterte guna melakasanakan perundingan untuk mencapai perdamaian kedua belah pihak dengan mengadakan sidang di Abidjan Pantai Gading tahun 2017. (cooperation, 2017)en_US
dc.publisherFAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTAen_US
dc.titleUPAYA ORGANISASI KERJASAMA ISLAM (OKI) DALAM MENANGANI KONFLIK MORO FILIPINA SELATAN 2015-2017en_US
dc.typeThesis SKR FISIP 362en_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record