Show simple item record

dc.contributor.authorARISANTI, DESI
dc.date.accessioned2018-09-20T07:01:11Z
dc.date.available2018-09-20T07:01:11Z
dc.date.issued2018-09-10
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/21388
dc.descriptionIsu tentang pemanasan global telah menjadi ancaman bagi keamanan setiap manusia, karena semakin meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dibumi dan faktor penyebab adalah aktivitas manusia yang secara terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batubara, gas bumi dan minyak bumi. Pada saat ini peningkatan emisi GRK tidak hanya disebabkan oleh sektor industri yang dihasilkan oleh negara maju, namun negara berkembang juga ikut terlibat menyumbang emisi GRK. Peningkatan emisi ini dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan yang telah mencapai 20% dari keseluruhan emisi GRK global setiap tahunnya. Indonesia menyumbang 5% dari GRK dunia dimana dihasilkan dari proses indutrialisasi dan pembalakan hutan secara ilegal serta pembukaan lahan perkebunan dengan cara di bakar. kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terganggu dan tidak berkelanjutan menjadi pendorong Indonesia melakukan diplomasi lingkungan dengan memanfaatkan poin poin pada Bali Action Plan pada COP ke 13, skema REDD+ menjadi acuan dalam politik lingkungan luar negeri Indonesia menghadapi permasalahan lingkungan yang juga menjadi perhatian negara- negara yang perduli terhadap degradasi lingkungan. Bertolak pada konvensi tingkat tinggi perubahan iklim di Paris pada tahun 2015 Indonesia sangat berkepentingan untuk meratifikasi perjanjian Paris karena Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi ancaman terhadap dampak perubahan iklim dan sekaligus tantangan untuk merubah pola pembangunan rendah karbon sesuai dengan sustainable development goals Perjanjian Paris. Indonesia berkomitmen menurunkan gas emisi pada tahun 2030 hingga pada angka 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. Jika Perjanjian Paris sudah enter into force, maka persidangan dalam membangun instrumen pelaksanaan Perjanjian Paris akan dilakukan dibawah CMA, dimana hanya negara pihak (parties) yang sudah meratifikasi PA(Paris agreement) saja yang berhak ikut dalam persidangan tersebut, sehingga jika Indonesia ingin menjaga kepentingan nasionalnya maka Indonesia harus menjadi bagian dari negara pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris. Dengan demikian Indoensia dapat menjalankan program pengurangan emisi gas dan degradasi hutan tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.en_US
dc.description.abstractIsu tentang pemanasan global telah menjadi ancaman bagi keamanan setiap manusia, karena semakin meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dibumi dan faktor penyebab adalah aktivitas manusia yang secara terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batubara, gas bumi dan minyak bumi. Pada saat ini peningkatan emisi GRK tidak hanya disebabkan oleh sektor industri yang dihasilkan oleh negara maju, namun negara berkembang juga ikut terlibat menyumbang emisi GRK. Peningkatan emisi ini dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan yang telah mencapai 20% dari keseluruhan emisi GRK global setiap tahunnya. Indonesia menyumbang 5% dari GRK dunia dimana dihasilkan dari proses indutrialisasi dan pembalakan hutan secara ilegal serta pembukaan lahan perkebunan dengan cara di bakar. kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terganggu dan tidak berkelanjutan menjadi pendorong Indonesia melakukan diplomasi lingkungan dengan memanfaatkan poin poin pada Bali Action Plan pada COP ke 13, skema REDD+ menjadi acuan dalam politik lingkungan luar negeri Indonesia menghadapi permasalahan lingkungan yang juga menjadi perhatian negara- negara yang perduli terhadap degradasi lingkungan. Bertolak pada konvensi tingkat tinggi perubahan iklim di Paris pada tahun 2015 Indonesia sangat berkepentingan untuk meratifikasi perjanjian Paris karena Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi ancaman terhadap dampak perubahan iklim dan sekaligus tantangan untuk merubah pola pembangunan rendah karbon sesuai dengan sustainable development goals Perjanjian Paris. Indonesia berkomitmen menurunkan gas emisi pada tahun 2030 hingga pada angka 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. Jika Perjanjian Paris sudah enter into force, maka persidangan dalam membangun instrumen pelaksanaan Perjanjian Paris akan dilakukan dibawah CMA, dimana hanya negara pihak (parties) yang sudah meratifikasi PA(Paris agreement) saja yang berhak ikut dalam persidangan tersebut, sehingga jika Indonesia ingin menjaga kepentingan nasionalnya maka Indonesia harus menjadi bagian dari negara pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris. Dengan demikian Indoensia dapat menjalankan program pengurangan emisi gas dan degradasi hutan tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherMIHI UMYen_US
dc.subjectPOLITIK LINGKUNGANen_US
dc.subjectPERUBAHAN IKLIMen_US
dc.subjectLINGKUNGAN NTERNASIONALen_US
dc.subjectKEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIAen_US
dc.titlePOLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM ISU LINGKUNGAN: STUDI KASUS “KEPENTINGAN INDONESIA DALAM KTT PERUBAHAN IKLIM DI PARIS TAHUN 2015”en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record