Show simple item record

dc.contributor.authorSUSILA, MUH ENDRIYO
dc.contributor.authorSOULARTO, DIRWAN SURYO
dc.contributor.authorDEWANTO, IWAN
dc.date.accessioned2016-09-19T04:20:35Z
dc.date.available2016-09-19T04:20:35Z
dc.date.issued2015-12
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2229
dc.descriptionAda kecenderungan di dunia internasional untuk mengalihkan penyelesaian sengketa medik(medical dispute) dari model litigasi (in court settlement) ke model-model penyelesaian sengketadi luar pengadilan (out of court settlement) yang lebih bermuara pada paradigma win-win solution. Paradigma ini sebenarnya sudah mulai diadopsi di Indonesia hanya pelaksanaannya masih belummenggembirakan. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menentukan bahwa sengketa yang terjadi karena adanya kelalaian tenaga kesehatan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29). Ketentuan tersebut belum sepenuhnya menjadi acuan masyarakat maupun aparat penegak hukum terkait penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Kecenderungan pasien di Indonesia untuk memperkarakan dokter melalui jalur hukum masih cukup tinggi. Hal ini lebih diperparah dengan sikap aparat penegak hukum yang terkesan kurang mengindahkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan di atas. Penerapan sarana mediasi dalam penyelesaian sengketa medik sebagaimana dikehendaki oleh pasal 29 UU Kesehatan menghadapi sejumlah kendala di lapangan. Salah satu kendalanya ialah tidak adanya peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimanakah mekanisme mediasi tersebut secara teknis harus dijalankan. Ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mediasi seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang lembaga mediasi di pengadilan (court-annexed mediation) sedangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang lembaga arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Di samping itu, di luar sana juga terdapat beberapa lembaga yang melaksanakan fungsi mediasi seperti: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Ombudsman, dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS). Semua lembaga-lembaga tersebut dianggap relevan untuk penyelesaian sengketa medik. Hal demikian cukup membingungkan di tingkat operasional. Bagaimanakah mediasi dilaksanakan? Kemanakah proses mediasi harus dibawa? Kendala lainnya adalah pola pikir (mindset) masyarakat serta aparat penegak hukum yang cenderung memahami peristiwa yang secara sosialogis dikonstruksikan sebagai malpraktik medik sebagai peristiwa pidana, terutama jika pihak pasien mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Sebagai akibatnya, pasien yang merasa telah menjadi korban malpraktik medik cenderung memperkarakan dokter yang bersangkutan ke ranah pidana. Pihak kepolisian juga acap kali begitu saja memproses laporan tersebut dugaan malpraktik medik tanpa mengindahkan ketentuan tentang mediasi yang diatur dalam Pasal 29 UU Kesehatan. Lebih parah lagi, kasus dugaan malpraktik medik hampir selalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP hanya karena terdapat fakta bahwa pasien menderita luka-luka atau meninggal dunia. Faktor luka-luka dan meninggalnya pasien memang mendukung salah satu unsur delik yang diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP tersebut, namun harus didudukkan sedemikian rupa sehingga tidak terkesan memaksakan berlakunya pasal- pasal tersebut pada kasus dugaan malpraktik medik.en_US
dc.description.abstractAda kecenderungan di dunia internasional untuk mengalihkan penyelesaian sengketa medik(medical dispute) dari model litigasi (in court settlement) ke model-model penyelesaian sengketadi luar pengadilan (out of court settlement) yang lebih bermuara pada paradigma win-win solution. Paradigma ini sebenarnya sudah mulai diadopsi di Indonesia hanya pelaksanaannya masih belummenggembirakan. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menentukan bahwa sengketa yang terjadi karena adanya kelalaian tenaga kesehatan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29). Ketentuan tersebut belum sepenuhnya menjadi acuan masyarakat maupun aparat penegak hukum terkait penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Kecenderungan pasien di Indonesia untuk memperkarakan dokter melalui jalur hukum masih cukup tinggi. Hal ini lebih diperparah dengan sikap aparat penegak hukum yang terkesan kurang mengindahkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan di atas. Penerapan sarana mediasi dalam penyelesaian sengketa medik sebagaimana dikehendaki oleh pasal 29 UU Kesehatan menghadapi sejumlah kendala di lapangan. Salah satu kendalanya ialah tidak adanya peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimanakah mekanisme mediasi tersebut secara teknis harus dijalankan. Ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mediasi seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang lembaga mediasi di pengadilan (court-annexed mediation) sedangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang lembaga arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Di samping itu, di luar sana juga terdapat beberapa lembaga yang melaksanakan fungsi mediasi seperti: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Ombudsman, dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS). Semua lembaga-lembaga tersebut dianggap relevan untuk penyelesaian sengketa medik. Hal demikian cukup membingungkan di tingkat operasional. Bagaimanakah mediasi dilaksanakan? Kemanakah proses mediasi harus dibawa? Kendala lainnya adalah pola pikir (mindset) masyarakat serta aparat penegak hukum yang cenderung memahami peristiwa yang secara sosialogis dikonstruksikan sebagai malpraktik medik sebagai peristiwa pidana, terutama jika pihak pasien mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Sebagai akibatnya, pasien yang merasa telah menjadi korban malpraktik medik cenderung memperkarakan dokter yang bersangkutan ke ranah pidana. Pihak kepolisian juga acap kali begitu saja memproses laporan tersebut dugaan malpraktik medik tanpa mengindahkan ketentuan tentang mediasi yang diatur dalam Pasal 29 UU Kesehatan. Lebih parah lagi, kasus dugaan malpraktik medik hampir selalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP hanya karena terdapat fakta bahwa pasien menderita luka-luka atau meninggal dunia. Faktor luka-luka dan meninggalnya pasien memang mendukung salah satu unsur delik yang diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP tersebut, namun harus didudukkan sedemikian rupa sehingga tidak terkesan memaksakan berlakunya pasal- pasal tersebut pada kasus dugaan malpraktik medik.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherUMYPRESSen_US
dc.subjectTuntutan Pidanaen_US
dc.subjectMalpraktik Medik
dc.subjectPenyelesaian Sengketa
dc.subjectMediasi
dc.titlePENDAYAGUNAAN SARANA MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA MALPRAKTIK MEDIK DI INDONESIAen_US
dc.typeWorking Paperen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record