dc.description.abstract | Di tengah dominasi Hollywood dan jaringannya di Indonesia, film nasional
mengalami peminggiran dengan dikuasainya layar sinema oleh film Hollywood.
Kondisi ini terjadi sejak rejim Orde Baru berkuasa ketika liberalisme
digelorakan. Film nasional yang tidak sepadan dengan kekuatan modal
Hollywood pun terjungkal. Jika kini film Indonesia secara jumlah meningkat,
bukan berarti problem film nasional terselesaikan. Monopoli Jaringan 21 atas
distribusi film menyebabkan film nasional harus ikut standar teknologi, dan juga
estetika jaringan ini. Pada dekade 1990-an, muncul alternatif gerakan untuk
membangkitkan film nasional dengan model sinema ngamen, yaitu sinema yang
diputar di luar jalur utama yang bernama sinema ngamen. Yogyakarta menjadi
salah satu basis dari sinema ngamen. Penelitian ini berpijak pada rumusan
masalah bagaimana strategi produksi dan pola distribusi sinema ngamen di
Yogyakarta? Penelitian ini menemukan data sebagai berikut, pertama, produksi
film pendek di Yogyakarta berkembang seiring dikenalnya teknologi digital
dalam produksi film. Era seluloid belum menjadi masa dari produksi film pendek
di Yogyakarta. Seluloid masih dianggap mahal dan tidak terjangkau sineas di
Yogyakarta. Dikenalnya video kaset dan selanjutnya video digital menjadikan
produksi film pendek di Yogyakarta mulai bermunculan. Komunitas film menjadi
basis dalam produksi film pendek di Yogyakarta. Komunitas film ini bisa berasal
dari kampus maupun luar kampus. Awalnya film pendek belum menarik
sponsor, sehingga produksi film benar – benar menjadi totalitas idealisme
sineasnya. Untuk produksi film, siasat pengetatan biaya produksi dilakukan
seperti dengan membuat replika lampu. Dalam jalur distribusi, sineas
Yogyakarta memutar filmnya dari satu tempat ke tempat lain. Perkembangan
teknologi internet memudahkan dalam mencari kantung budaya yang layak dan
bisa dijadikan pemutaran film. Melalui internet, sineas Yogyakarta mencari
komunitas film lain yang bersedia memutarkan filmnya. Kini, produksi film di
Yogyakarta tidak semua berbasis komunitas karena kemudahan teknologi dalam
produksi dan eksebisi film. Justru inilah yang menjadi tantangannya karena
pengalaman menunjukan pentingnya komunitas sebagai forum belajar bersama
para sineas. | en_US |