Show simple item record

dc.contributor.authorHAKIM, JAMALUDDIN
dc.date.accessioned2016-09-23T03:05:42Z
dc.date.available2016-09-23T03:05:42Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2625
dc.descriptionIndonesia sebagai negara agraris menyimpan banyak potensi dalam sektor pangan yang bisa dikembangkan, namun fakta ini terhapuskan dengan tidak berpihaknya kebijakan dalam upaya melindungi nasib para produsen pangan (petani). Munculnya beragam fakta tentang naiknya harga komoditas pangan, tingginya angka impor serta terpinggirkannya petani dalam ruang publik seolah menambah potret buram sektor pertanian Indonesia pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuff Kalla. Mata rantai ini tentu tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan system tatakelola global, yakni kapitalisme liberal. Dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota WTO telah menandai babak baru arah kebijakan perdagangan Indonesia. Di mana WTO yang merupakan metamorfosa dari GATT menawarkan sebuah peluang dan ancaman sekaligus. Masuknya sektor pertanian (baca; pangan) dalam perjanjian WTO, yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) sejatinya menjadi peluang yang menggembirakan namun faktanya perjanjian ini justru menambah muram sektor pertanian Indonesia. Hubungan asimetris antar Negara dijadikan dasar penyebab ketidak adilan yang terjadi. Konsep Power yang ditawarkan Barnett dan Duvall kiranya mampu melihat relasi itu secara utuh. Barnett dan Duvall menawarkan empat macam konsep power, Compursory Power, Productive Power, Institusional Power, dan Struktural Power. Dengan menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett-Duvall dan konsep kebijakan pangan, penelitian ini berupaya untuk membaca pola relasi kekuasaan WTO dalam kebijakan pangan.Dari keempat konsep yang ditawarkan, terdapat dua konsep yang relevan digunakan sebagai pisau analisa, konsep Struktural power dan Institusional power. Struktural power melihat terpingirkannya negara berkembang dalam proses perundingan sebagai akibat dari adanya dominasi negara maju. Sedangkan Institusional power melihat ketertundukan negara berkembang terjadi lewat skema perjanjian yang bersifat mengikat (legally binding).en_US
dc.description.abstractIndonesia sebagai negara agraris menyimpan banyak potensi dalam sektor pangan yang bisa dikembangkan, namun fakta ini terhapuskan dengan tidak berpihaknya kebijakan dalam upaya melindungi nasib para produsen pangan (petani). Munculnya beragam fakta tentang naiknya harga komoditas pangan, tingginya angka impor serta terpinggirkannya petani dalam ruang publik seolah menambah potret buram sektor pertanian Indonesia pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuff Kalla. Mata rantai ini tentu tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan system tatakelola global, yakni kapitalisme liberal. Dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota WTO telah menandai babak baru arah kebijakan perdagangan Indonesia. Di mana WTO yang merupakan metamorfosa dari GATT menawarkan sebuah peluang dan ancaman sekaligus. Masuknya sektor pertanian (baca; pangan) dalam perjanjian WTO, yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) sejatinya menjadi peluang yang menggembirakan namun faktanya perjanjian ini justru menambah muram sektor pertanian Indonesia. Hubungan asimetris antar Negara dijadikan dasar penyebab ketidak adilan yang terjadi. Konsep Power yang ditawarkan Barnett dan Duvall kiranya mampu melihat relasi itu secara utuh. Barnett dan Duvall menawarkan empat macam konsep power, Compursory Power, Productive Power, Institusional Power, dan Struktural Power. Dengan menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett-Duvall dan konsep kebijakan pangan, penelitian ini berupaya untuk membaca pola relasi kekuasaan WTO dalam kebijakan pangan.Dari keempat konsep yang ditawarkan, terdapat dua konsep yang relevan digunakan sebagai pisau analisa, konsep Struktural power dan Institusional power. Struktural power melihat terpingirkannya negara berkembang dalam proses perundingan sebagai akibat dari adanya dominasi negara maju. Sedangkan Institusional power melihat ketertundukan negara berkembang terjadi lewat skema perjanjian yang bersifat mengikat (legally binding).en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFISIPOL UMYen_US
dc.subjectLIBERALISME, WTO, AGREEMENT ON AGRICULTURE, INSTITUTIONAL POWER, PRODUCTIVE POWER, STRUCTURAL POWER, INSTITUSIONAL POWER, KEBIJAKAN PANGAN SBY-JK.en_US
dc.titleRELASI KEKUASAAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM KEBIJAKAN PANGAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YODHOYONO DAN JUSUF KALLA (2004-2009)en_US
dc.typeThesis SKR FISIP 306en_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record