dc.contributor.author | ROCHIMAH, TRI HASTUTI NUR | |
dc.contributor.author | JUNAEDI, FAJAR | |
dc.date.accessioned | 2016-09-24T03:57:12Z | |
dc.date.available | 2016-09-24T03:57:12Z | |
dc.date.issued | 2013 | |
dc.identifier.uri | http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2703 | |
dc.description | Bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah memberikan pelajaran berharga
dalam peliputan dan reportase jurnalistik di televisi. Informasi melalui televisi
mengenai perkembangan yang terjadi dalam erupsi Gunung Merapi banyak
dimanfaatkan oleh publik, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak. Posisi
Indonesia sebagai negara yang rentan dengan bencana, terutama karena letak geologi
Indonesia yang berada di cincin api (ring of fire) sehingga bencana alam menjadi
siklus yang tidak terelakan menjadikan kajian tentang strategi komunikasi bencana
dalam praktek jurnalisme penyiaran televisi menjadi relevan untuk dilakukan.
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi mengenai standar kompetensi jurnalis di
lokasi bencana dan bagaimana model jurnalisme sensitif bencana dengan berdasarkan
pada pengalaman jurnalis yang meliput erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Temuan
penelitian ini mengenai hak tersebut di atas adalah sebagai berikut, pertama praktek
jurnalisme, terutama jurnalisme penyiaran televisi, di lokasi bencana memiliki
kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada peristiwa-peristiwa lain.
Kedua, jurnalis yang diterjunkan ke lokasi bencana harus memiliki kompetensi dasar
jurnalistik dan kompetensi pengetahuan tentang apa bencana yang terjadi. Kompetensi
kebencanaan ini bukan hanya aspek ilmiah kebencanaan, namun juga local wisdom
mengenai bencana yang terjadi serta penguasaan medan yang terkena dampak
bencana. Ketiga, kerjasama dalam tim liputan menjadi aspek penting dalam
jurnalisme di lokasi bencana. Kerjasama ini semakin penting tatkala reportase
dilakukan secara langsung. Keempat, jurnalis yang melakukan reportase harus
menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dalam reportase agar informasi yang
disampaikan tidak menimbulkan implikasi kepanikan bagi warga terkena dampak
bencana. Terakhir, model peliputan dan reportase bencana yang baik adalah dengan
melibatkan jurnalis yang berada di biro terdekat dengan lokasi bencana karena lebih
menguasai medan liputan serta lebih memiliki akses pada otoritas yang berwenang di
sekitar lokasi bencana. | en_US |
dc.description.abstract | Bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah memberikan pelajaran berharga
dalam peliputan dan reportase jurnalistik di televisi. Informasi melalui televisi
mengenai perkembangan yang terjadi dalam erupsi Gunung Merapi banyak
dimanfaatkan oleh publik, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak. Posisi
Indonesia sebagai negara yang rentan dengan bencana, terutama karena letak geologi
Indonesia yang berada di cincin api (ring of fire) sehingga bencana alam menjadi
siklus yang tidak terelakan menjadikan kajian tentang strategi komunikasi bencana
dalam praktek jurnalisme penyiaran televisi menjadi relevan untuk dilakukan.
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi mengenai standar kompetensi jurnalis di
lokasi bencana dan bagaimana model jurnalisme sensitif bencana dengan berdasarkan
pada pengalaman jurnalis yang meliput erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Temuan
penelitian ini mengenai hak tersebut di atas adalah sebagai berikut, pertama praktek
jurnalisme, terutama jurnalisme penyiaran televisi, di lokasi bencana memiliki
kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada peristiwa-peristiwa lain.
Kedua, jurnalis yang diterjunkan ke lokasi bencana harus memiliki kompetensi dasar
jurnalistik dan kompetensi pengetahuan tentang apa bencana yang terjadi. Kompetensi
kebencanaan ini bukan hanya aspek ilmiah kebencanaan, namun juga local wisdom
mengenai bencana yang terjadi serta penguasaan medan yang terkena dampak
bencana. Ketiga, kerjasama dalam tim liputan menjadi aspek penting dalam
jurnalisme di lokasi bencana. Kerjasama ini semakin penting tatkala reportase
dilakukan secara langsung. Keempat, jurnalis yang melakukan reportase harus
menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dalam reportase agar informasi yang
disampaikan tidak menimbulkan implikasi kepanikan bagi warga terkena dampak
bencana. Terakhir, model peliputan dan reportase bencana yang baik adalah dengan
melibatkan jurnalis yang berada di biro terdekat dengan lokasi bencana karena lebih
menguasai medan liputan serta lebih memiliki akses pada otoritas yang berwenang di
sekitar lokasi bencana. | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.publisher | UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA | en_US |
dc.subject | Bencana, Jurnalis, Televisi, Etika | en_US |
dc.title | STRATEGI KOMUNIKASI BENCANA BERBASIS JURNALISME SENSITIF BENCANA DALAM PENANGANAN BENCANA ERUPSI MERAPI | en_US |
dc.type | Working Paper | en_US |