Show simple item record

dc.contributor.authorMUKTAF, ZEIN MUFARRIH
dc.contributor.authorJUNAEDI, FAJAR
dc.date.accessioned2016-09-28T04:24:06Z
dc.date.available2016-09-28T04:24:06Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/3205
dc.descriptionMenjelang Pemilu 2014, para politisi yang mengejar kursi kekuasaan di lembaga legistlatif dari tingkat daerah sampai dengan tingkat pusat berebut simpati audiens. Salah satu media yang paling banyak dipilih adalah iklan luar ruang, baik dipasang sesuai aturan maupun yang dipasang dengan melanggar aturan, seperti pemasangan iklan luar ruang yang dipaku di pohon dan yang dipasang di ruang publik. Keriuhan komunikasi politik melalui iklan luar ruang ini semakin terasa di Yogyakarta. Isu keistimewaan Yogyakarta yang sempat menjadi polemik di sekitar tahun 2010 – 2013 menjadi salah satu isu utama yang dijual para politisi melalui iklan luar ruang. Berbeda dengan daerah lain di awal kemerdekaan, di Yogyakarta terbit Amanat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang secara tegas mengatakan bahwa wilayah Yogyakarta adalah wilayah istimewa dari bagian negara Indonesia. Beragam wacana yang muncul mengenai pro-kontra bagaimana bentuk keistimewaan Yogyakarta, akhirnya berujung pada terbitnya Undang-undang nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan.Setelah adanya undang-undang ini para politisi saling melakukan klaim wacana mengenai siapa yang paling “istimewa” mendukung keistimewaan Yogyakarta.Pertarungan wacana yang melibatkan beragam relasi pengetahuan dan kekuasaan mewarnai iklan politik yang dipasang politisi di Yogyakarta.Pertarungan yang hanya terjadi di daerah pemilihan Yogyakarta, tidak ada pertarungan wacara yang sekeras Yogyakarta dalam isu lokal ini.Politisi Partai Demokrat menjadi politisi yang paling agresif dalam memasang iklan politik yang bernuansa kata istimewa, seperti iklan Roy Suryo (caleg nomor urut 1 Partai Demokrat untuk DPR RI) yang memenuhi berbagai titik strategis di Yogyakarta dengan klaimnya melalui jargon “Jogja Istimewa Asli Tanpa Rekayasa”. Representasi yang ditampilkan dalam iklan luar ruang politisi menjelang pemilu 2014 menjadi menarik untuk dikaji dalam penelitian yang menggunakan metode wacana kritis (critical discourse analysis / CDA). Metode ini akan melibatkan kajian mengenai apa yang sebenarnya berada di balik teks iklan politik luar ruang politisi yang dipasang di Yogyakarta.en_US
dc.description.abstractMenjelang Pemilu 2014, para politisi yang mengejar kursi kekuasaan di lembaga legistlatif dari tingkat daerah sampai dengan tingkat pusat berebut simpati audiens. Salah satu media yang paling banyak dipilih adalah iklan luar ruang, baik dipasang sesuai aturan maupun yang dipasang dengan melanggar aturan, seperti pemasangan iklan luar ruang yang dipaku di pohon dan yang dipasang di ruang publik. Keriuhan komunikasi politik melalui iklan luar ruang ini semakin terasa di Yogyakarta. Isu keistimewaan Yogyakarta yang sempat menjadi polemik di sekitar tahun 2010 – 2013 menjadi salah satu isu utama yang dijual para politisi melalui iklan luar ruang. Berbeda dengan daerah lain di awal kemerdekaan, di Yogyakarta terbit Amanat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang secara tegas mengatakan bahwa wilayah Yogyakarta adalah wilayah istimewa dari bagian negara Indonesia. Beragam wacana yang muncul mengenai pro-kontra bagaimana bentuk keistimewaan Yogyakarta, akhirnya berujung pada terbitnya Undang-undang nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan.Setelah adanya undang-undang ini para politisi saling melakukan klaim wacana mengenai siapa yang paling “istimewa” mendukung keistimewaan Yogyakarta.Pertarungan wacana yang melibatkan beragam relasi pengetahuan dan kekuasaan mewarnai iklan politik yang dipasang politisi di Yogyakarta.Pertarungan yang hanya terjadi di daerah pemilihan Yogyakarta, tidak ada pertarungan wacara yang sekeras Yogyakarta dalam isu lokal ini.Politisi Partai Demokrat menjadi politisi yang paling agresif dalam memasang iklan politik yang bernuansa kata istimewa, seperti iklan Roy Suryo (caleg nomor urut 1 Partai Demokrat untuk DPR RI) yang memenuhi berbagai titik strategis di Yogyakarta dengan klaimnya melalui jargon “Jogja Istimewa Asli Tanpa Rekayasa”. Representasi yang ditampilkan dalam iklan luar ruang politisi menjelang pemilu 2014 menjadi menarik untuk dikaji dalam penelitian yang menggunakan metode wacana kritis (critical discourse analysis / CDA). Metode ini akan melibatkan kajian mengenai apa yang sebenarnya berada di balik teks iklan politik luar ruang politisi yang dipasang di Yogyakarta.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTAen_US
dc.subjectREPRESENTASI, WACANA, KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA, IKLANen_US
dc.titlePERTARUNGAN WACANA DALAM REPRESENTASI IDENTITAS KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DALAM IKLAN POLITIK LUAR RUANG PEMILU 2014en_US
dc.typeWorking Paperen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record