Show simple item record

dc.date.accessioned2021-04-20T07:33:32Z
dc.date.available2021-04-20T07:33:32Z
dc.date.issued2020-08-31
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/36300
dc.descriptionPembangunan di Indonesia menghadapi risiko ancaman bencana gempa yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kerusakan produk sektor konstruksi akibat kejadian beberapa gempa merusak. Pada tahun 2018 terjadi beberapa Gempa yaitu: Gempa Lombok menyebabkan sekitar 125.000 rumah rusak, 18 jembatan ambruk, dan 153 ruas jalan dan tiga tanggul rusak menunjukkan mutu bangunan menjadi salah satu yang memperburuk jatuhnya korban; Gempa dan Tsunami Palu menyebabkan hampir 70.000 rumah rusak beserta infrastrukturnya; gempa di Banten menyebabkan sebanyak 150 unit rumah di Jawa Barat rusak. Padahal Menteri Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung. Tata cara perencanaan ketahanan gempa tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri No. 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Sayangnya, kebijakan tersebut bagus di atas meja, tapi mandul dalam pelaksanaan. Banyak masyarakat, pengembang, kontraktor, dan aparatur pemerintah yang tidak mematuhi dan menerapkan peraturan tersebut. Dengan sistem desentralisasi, kewenangan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berada di kabupaten dan kota, yang pelaksanaan pengendalian IMB-nya seringkali masih lemah Dalam konteks tersebut di atas, pemerintah daerah diharapkan menerbitkan kebijakan pembangunan konstruksi sekolah tahan gempa guna meminimalisir dampak terkait praktik-praktik konstruksi yang berpotensi menyebabkan resiko kegagalan bangunan, mulai dari tahap gagasan sampai dengan pemanfaatannya. Pendekatan yang dilakukan adalah identifikasi potensi bahaya gempa, kerentanan bangunan dan penyebab kerentanan pada seluruh proses tahapan konstruksi, membuat formulasi kebijakan, capasitas pemerintah dan masyarakat, dan perumusan model kebijakan pengurangan resiko bangunan. Pendekatan tersebut dilakukan dalam upaya membuat rekomendasi kebijakan pemerintah daerah di sektor konstruksi untuk mengurangi dampak gempa berupa kerusakan fatal (runtuh terhadap gempa di daerah rawan gempa NTB. Penelitian terapan unggulan ini dengan TKT 5 dilakukan daerah rawan gempa di Kabupaten Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian ini direncanakan dua tahun dan telah berjalan 1 tahun. Tahapan pada: tahun pertama dengan melakukan penelitian praktik membangun sekolah yaitu dengan melakukan survey dan tahun kedua dengan melakukan penelitian formulasi kebijakan pengurangan risiko bangunan sekolah terhadap gempa. Secara menyeluruh output dari penelitian terapan ini berupa draft formula kebijakan untuk rekomendasi menyusunan Peraturan Bupati di daerah rawan gempa. Berdasarkan metode Rapid Visual Screening (RVS) dari FEMA P-154 2015 yaitu dengan survei lapangan sebanyak 21 Sekolah. Hasil penelitian tahun pertama ini menunjukkan bahwa rata-rata bangunan Sekolah di Kabupaten Lombok Barat memiliki potensi kerentanan sebesar 36,7%. Hal ini menunjukan bahwa bangunan Sekolah di Kabutapten Lombok Barat rentan terhadap gempa dan berpotensi roboh apabila gempa besar terjadi. Faktor faktor yang menyebabkan bangunan rentan terhadap gempa terdapat pada kategori bangunan, penyimpangan pada ketidakberaturan atau ketidaksamaan pada Plan irregularity, Vertical irregularity, pedoman pembangunan yang masih kurang dan kurangnya tenaga ahli perencanaan dan pembangunan di dalam bidang struktur. Selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam memformulasi kebijakan dalam pembangunan sekolah.en_US
dc.description.abstractPembangunan di Indonesia menghadapi risiko ancaman bencana gempa yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kerusakan produk sektor konstruksi akibat kejadian beberapa gempa merusak. Pada tahun 2018 terjadi beberapa Gempa yaitu: Gempa Lombok menyebabkan sekitar 125.000 rumah rusak, 18 jembatan ambruk, dan 153 ruas jalan dan tiga tanggul rusak menunjukkan mutu bangunan menjadi salah satu yang memperburuk jatuhnya korban; Gempa dan Tsunami Palu menyebabkan hampir 70.000 rumah rusak beserta infrastrukturnya; gempa di Banten menyebabkan sebanyak 150 unit rumah di Jawa Barat rusak. Padahal Menteri Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung. Tata cara perencanaan ketahanan gempa tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri No. 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Sayangnya, kebijakan tersebut bagus di atas meja, tapi mandul dalam pelaksanaan. Banyak masyarakat, pengembang, kontraktor, dan aparatur pemerintah yang tidak mematuhi dan menerapkan peraturan tersebut. Dengan sistem desentralisasi, kewenangan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berada di kabupaten dan kota, yang pelaksanaan pengendalian IMB-nya seringkali masih lemah Dalam konteks tersebut di atas, pemerintah daerah diharapkan menerbitkan kebijakan pembangunan konstruksi sekolah tahan gempa guna meminimalisir dampak terkait praktik-praktik konstruksi yang berpotensi menyebabkan resiko kegagalan bangunan, mulai dari tahap gagasan sampai dengan pemanfaatannya. Pendekatan yang dilakukan adalah identifikasi potensi bahaya gempa, kerentanan bangunan dan penyebab kerentanan pada seluruh proses tahapan konstruksi, membuat formulasi kebijakan, capasitas pemerintah dan masyarakat, dan perumusan model kebijakan pengurangan resiko bangunan. Pendekatan tersebut dilakukan dalam upaya membuat rekomendasi kebijakan pemerintah daerah di sektor konstruksi untuk mengurangi dampak gempa berupa kerusakan fatal (runtuh terhadap gempa di daerah rawan gempa NTB. Penelitian terapan unggulan ini dengan TKT 5 dilakukan daerah rawan gempa di Kabupaten Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian ini direncanakan dua tahun dan telah berjalan 1 tahun. Tahapan pada: tahun pertama dengan melakukan penelitian praktik membangun sekolah yaitu dengan melakukan survey dan tahun kedua dengan melakukan penelitian formulasi kebijakan pengurangan risiko bangunan sekolah terhadap gempa. Secara menyeluruh output dari penelitian terapan ini berupa draft formula kebijakan untuk rekomendasi menyusunan Peraturan Bupati di daerah rawan gempa. Berdasarkan metode Rapid Visual Screening (RVS) dari FEMA P-154 2015 yaitu dengan survei lapangan sebanyak 21 Sekolah. Hasil penelitian tahun pertama ini menunjukkan bahwa rata-rata bangunan Sekolah di Kabupaten Lombok Barat memiliki potensi kerentanan sebesar 36,7%. Hal ini menunjukan bahwa bangunan Sekolah di Kabutapten Lombok Barat rentan terhadap gempa dan berpotensi roboh apabila gempa besar terjadi. Faktor faktor yang menyebabkan bangunan rentan terhadap gempa terdapat pada kategori bangunan, penyimpangan pada ketidakberaturan atau ketidaksamaan pada Plan irregularity, Vertical irregularity, pedoman pembangunan yang masih kurang dan kurangnya tenaga ahli perencanaan dan pembangunan di dalam bidang struktur. Selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam memformulasi kebijakan dalam pembangunan sekolah.en_US
dc.description.sponsorshipLP3M UMYen_US
dc.publisherLP3M UMYen_US
dc.subjectKebijakan, Kerentanan, Bangunan Sekolah, Lombok Baraten_US
dc.titleKEBIJAKAN PENGURANGAN RISIKO DAMPAK GEMPA BUMI PADA BANGUNAN SEKOLAH DI KABUPATEN LOMBOK BARAT NTBen_US
dc.typeTechnical Reporten_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record