View Item 
      •   UMY Repository
      • 05. COMMUNITY SERVICE
      • Report on Community Services
      • View Item
      •   UMY Repository
      • 05. COMMUNITY SERVICE
      • Report on Community Services
      • View Item
      JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

      ISLAM DAN INTERNALISASI NILAI-NILAI ANTIKORUPSI

      Thumbnail
      View/Open
      Agama dan Internalisasi Nilai-nilai Antikorupsi-01.pdf (622.8Kb)
      Date
      2017-04-24
      Author
      HARIYANTO, MUHSIN
      Metadata
      Show full item record
      Abstract
      Perkembangan definisi korupsi juga ditandai oleh sejumlah interpretasi keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama – misalnya – menganalogikan korupsi dengan al-ghulûl, sebuah terma yang dirujuk dari kitab suci al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Mereka – pada umumnya – mengelaborasi makna al-ghulûl dengan sejumlah interpretasi yang semakna dengan pengertian korupsi sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu dengan cara pandang masing-masing. Representasi definisi tentang korupsi yang dielaborasi dari terma al-ghulûl dapat dicermati – misalnya – pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2001) tentang “al-Ghulûl” (Korupsi) dan “ar-Risywah” (Suap-Menyuap). MUI pada 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan al-ghulul (korupsi), ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI menegaskan, bahwa korupsi dan praktik suap “sangat keras” larangannya dalam agama. Sementara pemberian hadiah bagi pejabat sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan dan fasilitas dari negara atas tugas-tugasnya. Fatwa MUI tersebut juga dikuatkan oleh pendapat para ulama NU pada Munas NU. Selain itu, Munas NU (2002) juga merekomendasikan mengharamkan hibah (hadiah) kepada pejabat di luar batas kewajaran. Diharamkannya hibah itu, karena di samping melanggar sumpah jabatan, juga bisa menimbulkan kemungkinan sebagai ar-risywah (suap-menyuap) atau sebagai bentuk al-ghulul (korupsi). Menurut para ulama NU, ar-risywah bisa mengubah yang benar menjadi salah atau sebaliknya, sedangkan al-ghulul (korupsi) tidak sama dengan ar-risywah (suap-menyuap) -- bukan menyogok --tetapi mengambil uang yang seharusnya masuk ke kas negara tetapi masuk ke ‘kantong’ sendiri. Alasan NU menyinggung masalah hibah, karena masalah tersebut menjadi aktual mengingat KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) banyak menerima pengembalian isian formulir pejabat negara yang hartanya disebut sebagai hibah. "Di sinilah perlu ketegasan NU sebagai organisasi keagamaan terbesar mengenai bagaimana kedudukan hibah kepada para pejabat.”
      URI
      http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/10172
      Collections
      • Report on Community Services

      DSpace software copyright © 2002-2015  DuraSpace
      Contact Us | Send Feedback
      Theme by 
      @mire NV
       

       

      Browse

      All of UMY RepositoryCollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

      My Account

      Login

      DSpace software copyright © 2002-2015  DuraSpace
      Contact Us | Send Feedback
      Theme by 
      @mire NV