MERAYAKAN SEPAKBOLA : FANS, IDENTITAS DAN MEDIA EDISI 2
Abstract
Kehidupan keseharian saya adalah menjadi dosen Ilmu Komunikasi, sebuah cabang ilmu pengetahuan yang secara interdisipliner berkelindan dengan berbagai cabang ilmu sosial dan humaniora, dan bahkan juga dengan ilmu eksakta, seperti sosiologi, antropologi dan ekonomi. Selain mengajar, penelitian atau riset menjadi fokus perhatian saya. Peta jalan dari penelitian yang saya lakukan adalah riset tentang sepak bola, yang secara khusus adalah penelitian tentang fans sepak bola, media dan budaya populer yang berkaitan dengan sepak bola.
Berbarengan dengan perkembangan pesat Ilmu Komunikasi di Indonesia, sebagaimana ditandai dengan mekarnya pendirian program studi Ilmu Komunikasi di berbagai perguruan tinggi, Ilmu Komunikasi tidak lagi hanya mengkaji tentang bagaimana pesan secara efektif disampaikan kepada komunikator kepada audiens, namun juga mengkaji tentang bagaimana media membingkai realitas. Kemudian berkembanglah kajian media (media studies) sebagai respon untuk mengkaji tentang media. Ilmu Komunikasi juga tidak lagi hanya meneliti narasi besar (grand narratives) sebagaimana yang terjadi di era pembangunisme di masa Orde Baru ketika Ilmu Komunikasi diidentikan dengan komunikasi pembangunan, namun juga mengkaji ranah kajian budaya populer. Maka berkembanglah cultural studies di Indonesia pasca 1998 yang menolehkan perhatian pada identitas, gender dan budaya pop yang kekinian. Tiga area perhatian yang bersinggungan dengan penelitian saya tentang sepak bola.
Alasan ketertarkan pada penelitian sepak bola adalah bahwa sepak bola merupakan budaya populer yang paling populer. Popularitas cabang olah raga ini menembus sekat disiplin ilmu, sejurus mirip dengan ilmu komunikasi yang interdisipliner. Sepak bola tidak sekedar kajian tentang bagaimana sebelas orang dalam sebuah tim bisa bermain efektif untuk mencetak gol dan serempak memenangkan pertandingan, namun telah berkembang menjadi kajian yang bisa dilihat dalam beragam perspektif.
Fans sepak bola dan media menjadi dua aras utama dalam buku yang akan Anda baca ini. Bergeloranya fans sepak bola di Indonesia untuk datang ke stadion adalah alasan mengapa fans sepak bola menjadi kajian, terutama dengan menggunakan cultural studies sebagai pisau analisis. Ditempatkannya sepak bola sebagai sajian utama dalam pemberitaan media menjadi alasan mengenai perlunya kajian tentang bagaimana media mengemas sepak bola.
Dalam relasinya antara fans dan media dalam beberapa tahun belakangan, beriringan dengan perkembangan teknologi digital yang terkoneksi melalui jejaring komputer yang difasilitasi teknologi internet, terjadi fenomena literasi media di kalangan fans sepak bola yang umumnya masih berusia muda. Alih – alih sekedar mengkritik media, anak muda fans sepak bola lokal di Indonesia berproses dalam literasi media melalui pemanfaatan media. Media massa yang secara konseptual dan praktek di masa analog hanya dikuasai oleh pemodal dalam proses produksinya, semakin kabur konseptualisasi “media massa”-nya dan lebih dimaknai sebagai media.
Buku ini berasal dari beberapa riset tentang fans sepak bola di Indonesia, yang sebagaimana disebut di atas, dikelindankan dengan media studies dan cultural studies. Sebagai hasil riset, pembabakan artikel disesuaikan dengan struktur penulisan ilmiah, namun diusahakan ditulis dengan bahasa yang populer dan gaya yang mengalir. Artikel pertama berjudul Mencari Berita Sepak Bola : Pola Distribusi Koran yang Berisi Berita Sepak Bola di Tingkat Pengecer dan Perilaku Pembacanya di Kota Sragen. Artikel ini disusun berdasarkan pada bagaimana koran dan tabloid harus berhadapan dengan semakin melambungnya biaya cetak dan kemajuan teknologi internet. Di tangan pengecer, koran bisa menjangkau konsumen pembacanya di berbagai daerah. Artikel ini dilatarbelakangi mengenai kondisi persaingan koran di tangan para pengecer dan bagaimana perilaku para konsumen saat membeli koran, terutama dengan memfokuskan pada koran yang menyediakan halamannya bagi sepak bola. Titik tekannya adalah pada distribusi koran di kota kecil dan bagaimana perilaku audiensnya.
Artikel kedua berjudul Konflik Suporter Sepakbola dalam Wacana Media : Wacana Koran – koran Lokal Yogyakarta dalam Kerusuhan Suporter PSIM Yogyakarta tanggal 13 Maret 2015. Artikel ini adalah hasil penelitian tentang bagaimana wacana media dalam mengemas berita tentang suporter PSIM Yogyakarta yang terlibat konflik fisik dengan suporter sepakbola PSS Sleman dan warga Sleman saat mendukung PSIM dalam pertandingan away ke PPSM Magelang pada hari Jumat 13 Maret 2015. Koran – koran lokal yang terbit di Yogyakarta menjadikan konflik suporter PSIM di Sleman sebagai berita utama dengan porsi pemberitaan yang besar. Penelitian ini berusaha mengeksplorasi tentang bagaimana pemberitaan koran – koran lokal yang terbit di Yogyakarta tentang peristiwa kerusuhan yang melibatkan suporter PSIM di Sleman. Ada tiga koran yang diteliti, yaitu Koran Merapi, Radar Jogja dan Harian Jogja. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa kerusuhan suporter diwacanakan secara berbeda oleh koran – koran lokal yang terbit di Yogyakarta. Koran Merapi tidak menyebut sama sekali secara eksplisit nama komunitas suporter sepak bola yang terlibat dalam kerusuhan. Koran Merapi terlihat berusaha bermain aman dalam pemberitaannya dengan tidak banyak mewacanakan tentang pranggapan mengenai pelaku kerusuhan yang terjadi. Radar Jogja dan Harian Jogja lebih berani mewacanakan tentang pelaku kerusuhan yaitu suporter PSIM Yogyakarta dan adanya kemungkinan atau potensi keterlibatan suporter PSS Sleman dalam aksi saling serang dengan suporter PSIM Yogyakarta. Pada semua koran, ada kesamaan wacana mengenai besarnya kerusakan yang terjadi dalam aksi kerusuhan suporter yang terjadi.
Artikel ketiga berjudul Amuk Suporter PSIS dalam Narasi Media. Dilatarbelakangi pertumbuhan klub sepak bola di berbagai kota di Jawa Tengah, seiring dengan desentralisasi yang menjadi arus utama pasca Orde Baru, telah menjadikan dinamika suporter sepak bola di Jawa Tengah mengalami perubahan. Pada masa Orde Baru dan era sebelumnya, PSIS Semarang nyaris tidak terbantahkan menempati posisi sebagai wakil Jawa Tengah dalam percaturan sepak bola nasional. Klub ini mampu bersaing dengan klub-klub besar lainnya pada era Perserikatan dan sempat sekali menjuarai Liga Indonesia. Dukungan publik di Jawa Tengah saat itu terfokus pada PSIS. Namun kondisi saat ini telah berubah. Kemunculan klub-klub di kota dan kabupaten di Jawa Tengah seolah menjadi rival bagi PSIS, yang akhirnya berujung pada meluasnya bentrok kekerasan suporter di Jawa Tengah.
Meluasnya kekerasan yang melibatkan suporter sepak bola ini bukan hanya terjadi di dalam stadion, namun juga di luar stadion, serta tidak hanya melibatkan sesama suporter, namun juga suporter dengan warga. Bentrokan antara suporter PSIS dengan warga Godong, Grobogan pada tanggal 5 Mei 2013 menjadi catatan paling kelam dari perilaku kekerasan yang melibatkan suporter PSIS. Penelitian ini berusaha melihat bagaimana media massa membangun narasi dalam pemberitaan mengenai peristiwa kerusuhan yang terjadi di Godong, Grobogan. Media yang dipilih adalah Suara Merdeka dan Wawasan, dua koran lokal yang terbit di Semarang. Penelitian dilakukan dengan analisis naratif model Marie Gillespie untuk melihat rangkaian struktur narasi di media massa mengenai kerusuhan suporter PSIS di Godong, Grobogan. Penelitian ini menemukan bahwa narasi pemberitaan Suara Merdeka dan Wawasan menempatkan suporter yang berbuat rusuh di Indonesia sebagai musuh warga yang mengganggu harmoni dengan muncul sebagai perusuh.
Artikel keempat berjudul Rusuh Suporter Sepakbola vs Polisi dalam Bingkai Berita : Mempersoalkan Akurasi dan Verifikasi Berita. Artikel ini merupakan penelitian tentang berita mengenai pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia yang mempertemukan Persis Solo melawan Martapura FC tanggal 22 Oktober 2014 yang berujung suporter Persis Solo terlibat bentrok dengan aparat kepolisian. Seorang suporter Persis Solo meninggal, beberapa lainnya mengalami luka. Pertandingan hari tersebut memang pertandingan hidup – mati bagi Persis Solo untuk lolos ke babak semifinal Divisi Utama Liga Indonesia. Di luar stadion, massa yang marah membakar sebuah motor polisi dan merusak pos polisi. Hanya beberapa jam, di stasiun televisi swasta muncul running text “Bentrok antar suporter di Solo, seorang tewas.” Sebuah berita yang aneh, karena yang bentrok adalah polisi vs suporter. Hal serupa terjadi dalam pemberitaan di laman media online dengan langsung menyebut bahwa korban meninggal disebabkan oleh pengeroyokan sesama suporter. Persoalan akurasi dan sekaligus juga verifikasi berita perlu dipertanyakan. Sehari setelah Stadion Manahan membara, koran – koran lokal Solo dan Yogyakarta menjadikan tragedi ini di halaman pertama. Umumnya, koran mengambil informasi dari polisi, sehingga tentu saja yang disalahkan adalah suporter atau fans Persis Solo. Namun, berbeda dengan media televisi dan laman media online, koran – koran lokal lebih berani menyebut adanya tembakan dan kekerasan yang juga melibatkan polisi.
Artikel kelima mengangkat tentang kajian mengenai politik identitas dan gender dalam penamaan suporter sepak bola di Indonesia. Berjudul Tentang Nama Fans Sepak Bola : Maskulinitas dalam Penamaan Komunitas Fans Sepak Bola di Indonesia, artikel ini berangkat dari premis bahwa sepak bola adalah arena pertarungan wacana tentang identitas gender. Di Indonesia, pertarungan wacana tentang identitas gender ini bisa dijumpai dalam penamaan fans sepak bola yang berlatar belakang perempuan. Fans perempuan Persebaya dinamai Bonita dan fans perempuan Arema disebut juga Aremanita. Suku kata terakhir dari kedua penamaan tersebut merujuk pada wanita. Demikian pula penggunaan kosakata nona, srikandi, molek, angel, lady dan sejenisnya, mudah dijumpai dalam identitas penamaan fans sepak bola perempuan. Mengikuti apa yang ditulis oleh Piere Bourdieu, dalam olah raga selalu ada dikotomi berbagai wacana seperti amatir – profesional, pemain – fans, olah raga elit – olah raga populer dan sebagainya. Dikotomi yang bersifat oposisi biner (binary opposition) ini juga ditemui dalam fans sepak bola dalam konteks relasi gender yaitu fans laki-laki – fans perempuan. Dalam penamaan fans sepak bola di Indonesia fans laki-laki selalu tidak ditandai sedang fans perempuan selalu ditandai, dengan beragam kata yang memperlihatkan feminitas perempuan, seperti kata wanita, nona, srikandi, molek, angel, lady dan sejenisnya.
Masih tentang identitas penamaan, artikel kelima berjudul Berawal dari Bonek Liar : Kata “Liar” dalam Subkultur Suporter Sepakbola di Indonesia. Memperbincangkan suporter sepakbola, ada dua pola komunitas suporter sepakbola di Indonesia, pertama yaitu komunitas suporter sepakbola yang berkembang secara kultural yang ditandai dengan kelekatan pada simbol-simbol yang sama, namun tidak memiliki struktur organisasi yang kuat. Kedua, komunitas suporter sepakbola yang berkembang dengan menekankan pada pengorganisasian yang rapi, bahkan dengan membentuk organisasi yang memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Yang menarik adalah munculnya sub komunitas yang menamakan dirinya sebagai suporter “liar”, seperti Bonek Liar Community. Suporter yang mengaku liar, umumnya merefleksikan dirinya sebagai suporter yang tidak terikat oleh komunitas yang lebih besar. Mereka membangun subkulturnya sendiri melalui kata “liar” yang mereka pegang yang menjadi cara untuk berbeda dengan yang lain. Pada ranah inilah, identitas menjadi sesuatu yang cair terlihat dalam fenomena suporter sepak bola di Indonesia.
Artikel keenam berjudul Twitter Adalah Senjata : Suporter Sepakbola Melawan PSSI. Jika David yang bernyali menggunakan batu ketapel untuk melawan raksasa Goliath yang bersenjata lengkap, maka fans sepak bola menggunakan twitter sebagai senjata melawan federasi sepak bola berikut media arus utama yang mendukungnya. Tulisan ini mengangkat tentang bagaimana literasi media telah menempatkan fans sepak bola untuk berada dalam relasi negotiated reading dan oppositional reading ketika berhadapan dengan media arus utama. Kemajuan literasi media di kalangan fans sepak bola memperlihatkan bahwa fans sepak bola tidak hanya dikaji dari sisi kerusuhannya, sebagaimana yang sering ditulis dalam berbagai artikel jurnal ilmiah, namun menunjukan bahwa fans sepak bola bisa dikaji dari sisi gerakan anak muda yang terliterasi.
Artikel terakhir berjudul Merayakan Sepak bola, Merawat Sejarah, Memberitakan Kota Bersama Bawah Skor merupakan kajian tentang Bawah Skor, yang mengelola berbagai informasi tentang PSIM Yogyakarta dan arsip lainnya berkaitan dengan sepak bola lokal di Yogyakarta. Sekali lagi, stigma fans sepak bola adalah biang kerusuhan perlu ditinjau ulang. Bahwa kerusuhan yang melibatkan suporter sepak bola masih terus terjadi adalah fakta yang harus diakui kebenarannya, namun ada fakta lain tentang anak muda yang menggandrungi sepak bola lokal yang bermakna positif. Bukannya klub dan pemerintah yang mencatat sejarahnya, yang berarti menyangkut tentang sejarah kota, namun justru fans sepak bola yang masih berusia muda.
Saya berterima kasih kepada Football Fandom Indonesia yang bersedia menerbitkan buku ini. Buku ini adalah jembatan yang menghubungkan dunia akademis dengan publik, karena sebelumnya artikel ilmiah yang termuat di buku ini disajikan dalam forum terbatas di konferensi akademik, terbit dalam prosiding yang terbatas peredarannya dan termaktub dalam buku kumpulan tulisan yang isinya beragam. Ide awal saya memang ingin membawa sepak bola, terutama sepak bola lokal, sebagai kajian akademik di lingkungan akademis. Diskusi dengan Sirajudin Hasby dan kawan – kawan di Football Fandom menelorkan ide lanjutan, yaitu membawa kajian akademis kembali kepada publik. Ide lanjutan yang bertumpu pada premis bahwa dunia akademis seharusnya tidak menjadi menara gading. Jika hanya terbit sebagai prosiding misalnya, tulisan dalam buku ini hanya bisa diakses oleh lingkungan akademik di kampus saja. Itupun belum tentu semua prosiding tersedia di perpustakaan kampus.
Secara umum, isi dari buku ini sama dengan saat dipresentasikan di konferensi akademik, kecuali bagian abstrak dan kata kunci. Saat dipresentasikan di konferensi akademik, masih ada abstrak dan kata kunci di awal artikel, namun atas dasar pertimbangan kenyamanan saat membaca, keduanya dihilangkan di buku ini. Namun demikian, tidak ada yang berubah ketika buku ini tidak lagi mengenal abstrak dan kata kunci di awal artikel.