dc.description | Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan memiliki amal usaha dan jamaah yang tersebar di negeri ini, banyaknya jumlah kader dan simpatisannya membuat para partai politik selalu melirik Muhammadiyah terutama untuk mendapatkan dukungan secara politik agar kader dan jamaah Muhammadiyah memilih partai politik tertentu. Namun sesuai khittah (garis perjuangan organisasi) Muhammadiyah tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai politik tertentu walaupun partai politik tersebut pernah didirikan oleh Ketua Muhammadiyah sebelumnya seperti M. Amin Rais yang mendirikan PAN.
Tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu bukan berarti Muhammadiyah tidak memainkan peran politik kebangsaannya, organisasi Islam berkemajuan ini dalam berkiprah dalam dunia politik lebih sebagai kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang berusaha agar kebijakan negara sesuai dengan konstitusi dan tidak merugikan rakyat.
Haidar Nashir (2008) mengatakan Muhammadiyah dalam memainkan peran politik kebangsaannya tidak melalui jalan politik praktis seperti partai politik tetapi Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dan gerakan Islam yang memagari dirinya dengan khittah dan tetap setia pada jalur dakwah sosialnya namun bukan berarti Muhammadiyah alergi terhadap politik, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada para kadernya untuk dipilih dan memilih tetapi harus mengikuti aturan khittah organisasi dan kiprah politik Muhammadiyah sebagai kekuatan moral bangsa untuk mengkritisi kebijakan negara yang merugikan rakyat.
Keberadaan khittah Muhammadiyah telah menegaskan sikap politik Muhammadiyah secara organisatoris namun bukan berarti sikap elit Muhammadiyah sama dan taat terhadap khittah Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap elit Muhammadiyah terhadap politik khususnya Pilpres 2009 menunjukkan sikap yang variatif bukan monolitik, keberagaman itu telah membuktikan terjadinya fragmentasi di tubuh elit Muhammadiyah. Fragmentasi inilah menyebabkan munculnya kelompok-kelompok dalam Muhammadiyah ketika menghadapi Pilpres 2009 yang diantaranya:
(1). Kelompok Fundamentalis Politik, kelompok ini bisa juga dikatakan sebagai kelompok pragmatis poltitik yang cenderung membawa dan memobilisasi Muhammadiyah untuk mendukung calon politik tertentu pada 2009 dengan cara yang halus tanpa mendikte, karena warga Muhammadiyah memiliki kesadaran politik yang baik sehingga memiliki kepekaan politik untuk mengikuti pilihan elitnya, walaupun pada akhirnya pendukungan itu tidak sesuai harapan, karena kelompok ini mengalami kekalahan yang kedua kalinya setelah mendukung Amin Rais pada 2004. Elit Muhammadiyah termasuk kelompok ini seperti Din Syamsudin, Bambang Sudibyo, Amin Rais, Imam Daruqutni, Muslim Abdurahman dan lain sebagainya;
(2). Kelompok Moderat Pasif, berjuang dan berdakwah lebih utama setidaknya inilah agenda yang strategis bagi kelompok moderat pasif di Muhammadiyah, bagi kelompok ini dakwah itu bersifat merangkul sedangkan politik memecah belah, kelompok ini berada ditengah tengah dan tidak menjadi bagian dari kelompok politik tertentu;
(3). Kelompok Moderat Aktif, kelompok ini memiliki ciri yang unik dari kelompok sebelumnya, karena sikap inklusifnya dan moderatnya tetapi yang membedakan secara jelas kelompok ini dengan kelompok modern pasif adalah pertimbanganya dalam menentukan pilihan, kelompok ini sangat aktif dalam mengumpulkan bahan, berita dan melakukan analisa untuk menentukan sikap politiknya dan para pengikutnya. Elit yang termasuk kelompok ini seperti Prof. Syafii Maarif, Prof. Yunahar Ilyas, Dr. Muhammad Muqodas, Prof. Zamroni;
(4). Kelompok Khitois, khittah merupakan pedoman bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah yang dihasilkan melalui keputusan organisasi baik di Tanwir dan Muktamar, khittah ini mempunyai fungsi yang sangat fundamental bagi Muhammadiyah, agar setiap langkah gerak pimpinan dan warganya sesuai dengan haluan organisasi. Kelompok yang termasuk aliran khitois secara kuantitas cukup banyak, karena terminology Muhammadiyah tidak berpolitik praktis cukup lekat dikalangan Muhammadiyah, kelompok ini dalam menentukan sikap politiknya taat pada aturan organisasi dan keputusan organisasi, elit Muhammadiyah yang menonjol sebagai kelompok khitois seperti Haedar Nashir, Rosyad Sholeh dan sebagainya;
(5). Kelompok Apolitis, kata apolitis sebenarnya memiliki makna yang sama dengan apatisme dalam politik atau tidak peduli terhadap hiruk pikuk politik yang terjadi, kelompok ini jarang terjadi pada level elit Muhammadiyah tetapi kelompok ini berada pada basis Muhammadiyah di pedesaan atau yang dikenal sebagai kyai kampung. Keberadaan kelompok ini sangatlah menguntungkan bagi partai politik, karena dalam menentukan calon yang akan dipilih biasanya pada hari H, ketika mencoblos. Jumlah kelompok ini juga cukup banyak.
Fragmentasi yang terjadi di level elit Muhammadiyah ketika menghadapi pilpres 2009 merupakan sebuah keniscayaan, dikarenakan kader Muhammadiyah tersebar disemua partai politik yang ada sehingga fragmentasi yang terjadi biasa-biasa saja. Selama tidak menimbulkan implikasi yang besar bagi organisasi dan gerak Muhammadiyah. Hubungan Muhammadiyah dan politik bukanlah relasi yang sederhana namun kompleks. Fragmentasi yang terjadi bagian dari dinamika Muhammadiyah dalam menghadapi kekuatan politik yang berusaha menarik kekuatan Muhammadiyah agar ikut serta mendukungnya. Yang terpenting fragmentasi yang terjadi di elit Muhammadiyah tidak membuat daya transformasi kebangsaan Muhammadiyah menurun, seperti yang dikatakan Din Syamsudin “silahkan ada perbedaan, ada pragmentasi politik, tapi perlu besatu dalam isu-isu strategis kebangsaan”. | en_US |