dc.description | Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah tidak pernah benar-benar terpisah dari kehidupan politik. Bahkan pernah, Muhammadiyah menjadi anggota istimewa pendukung Partai Masyumi (1955). Hal itu wajar karena Muhammadiyah memberikan kebebasan berpolitik kepada anggotaanggotanya, termasuk juga para elite pimpinannya.
Sampai Pemilu Presiden 2014 yang sangat kompetitif dan keras, sesungguhnya dinamika politik yang ada dalam internal Muhammadiyah menghadapi perpolitikan sebanding dengan dinamika Muhammadiyah mengelola amal usahanya yang semakin besar dan masif. Lihat saja amal usaha di bidang pendidikan yang mencapai ribuan sekolah, mulai TK sampai perguruan tinggi, dan pesantren. Begitu juga amal usaha di bidang kesehatan seperti rumah sakit.
Dalam pelayanan amal sosial, Muhammadiyah memiliki ratusan panti asuhan (Profil AUM 2015 diterbitkan MPI PP Muhammadiyah). Hanya, keberadaan ”ihwal politik” sering kali terasa dimarginalkan dalam wacana internal Muhammadiyah, terutama oleh jamaah Muhammadiyah yang masih ”alergi” dengan politik, apatis, atau justru karena aspirasi politiknya sudah masuk zona nyaman (tidak ingin Muhammadiyah berafiliasi pada partai tertentu).
Tanwir Muhammadiyah Denpasar 2002 memberikan legitimasi terhadap peran-peran kebangsaan yang dapat dilakukan oleh Muhammadiyah. Spirit itu menjadi kelanjutan dari agenda reformasi di mana Muhammadiyah menjadi bagian penting dari peran high politics sampai dengan politik praktis kepartaian yang punya andil membidani PAN. Kelompok khitois dan elite yang alergi politik sampai 2002 tidak memperlihatkan karakter oposisi terhadap gelagat ”syahwat” politik dari kubu fundamentalis politik yang percaya bahwa dakwah dan politik adalah satu kesatuan (representasi kubu Amien Rais). Setelah kandas pada 2004, kubu khitois yang ingin memisahkan Muhammadiyah dari politik praktis mulia menancapkan pengaruhnya melalui beragam wacana bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan politik dan menjaga jarak dari tarikan politik.
Dalam pilpres pascareformasi, khususnya 2009 dan 2014, tampak preferensi politik elite Muhammadiyah pusat mengalami fragmentasi serius. Apa yang menjadi imbauan elite tidak sertamerta menjadi pilihan anggota Muhammadiyah. Kecuali tahun 2004 yang memperlihatkan soliditas elite dalam mengusung Amien Rais walau fakta menunjukkan bahwa tidak semua warga Muhammadiyah memilih Amien Rais. Banyak survei politik menunjukkan bahwa warga Muhammadiyah terafiliasi ke dalam parpol yang beragam (Bush, 2012).
Perbedaan pilihan elite pada awalnya lebih disinyalir karena kedekatan emosional dan bukan by design. Upaya menyebarkan dukungan untuk menyelamatkan Muhammadiyah agar tetap ”aman”,siapa pun pemenangnya, sebenarnya tidak pernah mendapatkan pembenaran. Sebab, Muhammadiyah tidak biasa ”meminta” fasilitas negara, juga tidak mudah merasa terancam oleh kekuasaan negara (the ruling elite). Jadi, aliran politik Muhammadiyah itu enteng-entengan saja.
Pemilihan legislatif (pileg) merupakan ajang kompetisi politik untuk menjadi anggota dewan di pusat, provinsi, dan kabuputen/kota serta DPD. Sejak 2004, pemilihan dilaksanakan secara terbuka dan langsung. Situasi itu menjadi tantangan tersendiri bagi kader Muhammadiyah yang punya nalar dan kompetensi politik untuk terjun di dalamnya. Persoalannya, SK Muhammadiyah mengharuskan kader pimpinan mundur dari jabatan di persyarikatan jika maju. Tapi, kenyataannya, beberapa di antaranya dapat izin dari PP, sementara di beberapa daerah telanjur mundur. Situasi itu menunjukkan bahwa orientasi politik Muhammadiyah tidak stabil dan bahkan paradoks.
Para llite PP Muhammadiyah punya respons yang berbeda dengan PWM atau PDM mengenai pentingnya keterlibatan Muhammadiyah dalam pilkada. Urusan keseharian dalam lembaga pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial mensyaratkan hubungan baik dengan pemerintah daerah. Hal itu menjadikan ”suara” besar Muhammadiyah sebagai bargaining position terhadap kekuasaan. Walaupun PP Muhammadiyah sudah mengeluarkan SK nomor 61/KEP/I.0/B/2008 mengenai pilkada, namun beberapa elite Muhammadiyah lokal mempunyai derajat keberanian sikap politik yang beragam, mulai yang fundamentalis, netral aktif, normatif pasif, sampai sikap otonomi elite untuk mendukung atau tidak. Tidak sedikit yang berani mendukung secara kelembagaan dengan ‘dokumen’ tertulis.
Di sisi lain, dari fenomena pilkada dan pileg, juga ada penjelasan penting bahwa elite Muhammadiyah di level daerah menganggap ”kekuasaan/ jabatan politik perlu untuk menjaga nilai-nilai Muhammadiyah dan juga untuk melangsungkan amal usaha Muhammadiyah”. Hal itu wajar selama Orde Baru. Muhammadiyah aktif menjadi bagian dari kelompok yang berperan besar dalam mengembangkan pendidikan dan pelayanan sosial.
Salah satu titik lemah Muhammadiyah di daerah, walaupun sudah memenangkan kandidat dukungannya di daerah, adalah tidak adanya blueprint peranperan Muhammadiyah dalam perumusan kebijakan publik serta tata kelola pemerintahan. Sering kali Muhammadiyah sudah merasa cukup jika calon yang didukung menang. Peran politik minimalis itu menjadikan Muhammadiyah gagal menerapkan nilai-nilai kemajuan yang digadang-gadang. Padahal, baik buruk maupun stabil dan semrawutnya pemerintah nasional/ daerah akan berdampak pada Muhammadiyah. | en_US |