dc.description | Penggambaran mengenai keragaman sikap politik kaum elite Muhammadiyah bukan hal baru misalnya Afan Gaffar, guru besar Ilmu Politik UGM yang merangkap sebagai anggota mejelis Hikmah PP Muhammadiyah pernah mengeluarkan statemen kontroversial mengenai varian elite Muhammadiyah yang terbagi atas tiga golongan yaitu: elit yang mencari makan dari Muhammadiyah, elit yang mencari legitimasi, dan yang terakhir adalah elit yang ikhlas.6 Varian-varian Muhammadiyah lainnya kemudian bermunculan termasuk Muhammadiyah-politisi dan Muhammadiyah Ideologis yang anti terhadap kelompok yang mencoba membawa Muhammadiyah dalam panggung politik praktis. Fenomena ini mempunyai runtutan sejarah yang cukup panjang dalam metamorfasis elite tradisional menjadi elite modern yang merupakan pertarungan perubutan pengaruh dan upaya pertahanannya.7
Ribuan kali penegasan Muhammadiyah tidak berpolitik praktis tidak menyurutkan langkah elite-elite Muhammadiyah untuk terus berinteraksi politik dan menghimpitkan Muhammadiah dalam politik sejak pendirinya HA Dahlan yang menjadi anggota Partai Politik, lalu zaman Orde Lama di Masyumi dan Parmusi, serta PAN dan PMB dna dukungan kepada capres tertentu. Tabiat ini sudah disinyalir oleh G.H.Bousquet, Orientalis Prancis, ”Memang betul bahwa Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik, tetapi anggota-anggotanya terlibat.”8
Studi ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam mengenai politik elite Muhammadiyah serta memahami bagaimana implikasinya terhadap dinamika internal organisasi dan eksternal politik Indonesia dalam panggung politik di negeri ini khususnya dalam pentas pemilu 2009. Kegagalan politik tahun 2004 tidak menjadikan elite Muhammadiyah trauma untuk melakuka manufernya dalam pemilu 2009 meski memunculkan kubu anti politk praktis yang menguat pasca kekalahan Amien Rais.9 Beberapa argumen tentang signifikansi studi ini dilakukan antara lain. Pertama, banyak pertanyaan mendasar yang betul- betul menganggu mengenai optimisme kelompok civil society untuk membangun demokrasi. Akan tetapi kelompok-kelompok CSO (Civil Society Organization) seperti NU dan Muhammadiyah selalu kandas dalam mengusung kandidat dalam kontes pemilu langsung untuk membentuk rezim yang ‘lebih baik’. Apakah memang elite-elitenya sudah kehilangan karisma, atau mesin ormas ini nyaris lumpuh diterjang badai liberalisme politk yang didorong oleh partai politik, tim sukses dan tentu pemodal yang berkuasa dibalik kisah-kisah dramatis demokrasi elektoral. Atau apakah freagmentasi politik kelompok santri ini semakin membingungkan basis massanya? Ini merupakan beberapa pertanyaan-pertanyaan kunci dalam study ini. | en_US |