KONFLIK MULTIKULTUR DAN SOLUSI KULTURAL DALAM WARGA AHMADIYAH DI TAWANGMANGU, KARANGANYAR, JAWA TENGAH
Abstract
Reformasi yang di tahun 1998 secara sukses telah mengantarkan bangsa Indonesia dalam demokratisasi. Kebebasan berpendapat, yang susah dirasakan di masa Orde Baru, menjadi fenomena yang menggejala di pasca Orde Baru. Sayangnya, kebebasan berpendapat yang dibungkam di masa Orde Baru kemudian meledak bersamaan dengan kehancuran pemerintahan yang otoriter ini. Alih – alih kebebasan berpendapat dilakukan secara santun, kebebasan berpendapat dalam beberapa kasus justru dilakukan dengan jalan kekerasan yang ironisnya justru membunuh kebebasan berpendapat itu sendiri. Ahmadiyah aliran keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad menjadi salah satu sasaran serangan oleh kelompok Islam mayoritas, terutama mereka yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang sesat dari Islam dan bahkan bukan lagi sebagai bagian dari Islam. Atas nama kebebasan berpendapat, kelompok mayoritas ini menyerang warga Ahmadiyah di berbagai tempat di Indonesia. Secara kultural, warga Ahmadiyah memiliki ciri khas tersendiri yang memudahkan kelompok penyerang mengidentifikasi keberadaan warga Ahmadiyah. Konflik antara kedua kelompok ini bahkan telah menyebabkan korban jiwa di kalangan warga minoritas Ahmadiyah. Sebuah fenomena yang berbeda terjadi di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Awalnya, di tahun 2011, warga Ahmadiyah di Tawangmangu dilanda ketakutan sebagai akibat serangan terhadap warga Ahmadiyah di berbagai lokasi lain. Di tahun – tahun sesudahnya warga Ahmadiyah berhasil membangun relasi kultural dengan warga lain (non – Ahmadiyah) di Tawangmangu secara harmonis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa warga ahmadiyah mampu menjalin relasi multikultural dalam kehidpan sehari-hari dengan melakukan pendekatan kultural dengan membaur dengan warga sekitar secara inklusif yang bisa disebut sebagai akulturasi integrasi, yaitu melakukan interaksi dalam intensitas tinggi dengan budaya tuan rumah (host culture), namun pada saat yang bersamaan mereka tetap mempertahankan budaya asli