TATA KELOLA PARIWISATA-BENCANA BERBASIS COLLABORATIVE GOVERNANCE
Abstract
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor terbesar di dunia sebagai pembangkit ekonomi, namun keberadaannya sangat rentan terhadap bencana. Kajian pariwisata dalam perspektif administrasi publik sebagian besar masihmemakai pendekatan kebijakan dan manajemen yang melihat pariwisata sebagai suatu proses yang teratur dan kurang memperhitungkan terjadinya bencana. Pariwisata yang berkaitan dengan bencana, tidak mungkin dijelaskan dengan memakai pendekatan yang teratur seperti itu karena bencana merupakan suatu proses yang datangnya secara tiba-tiba dan akan menggagalkan seluruh kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selama ini tata kelola untuk menghadapi bencana memakai pendekatan yang bersifat adaptif (adaptive governance) yaitu dengan melalui penyesuaian kebijakan dan mengelola ketidakpastian dengan pendekatan kontigensi. Tata kelola yang seperti ini hanya sekedar menyesuaikan dengan perubahan tetapi tidak bisa melakukan akselerasi, sehingga perlu dikembangkan pendekatan baru yang dapat merespon bencana secara cepat dan sekaligus mengelola kemungkinan untuk dikembangkan menjadi kegiatan pariwisata, pendekatan baru tersebut dikenal dengan tata kelola kolaborasi (collaborative governance).
Analisis dengan menggunakan pendekatangovernancemerujuk pada 3 teori utama yaitu Osborne (2010) tentang negosiasistakeholder berdasarkan mekanisme jaringan yang bersifat relasional, yang kemudian diperkuat oleh Bevir (2011) tentang perlunya transformasi tata kelola pemerintahan dari sistem hirarki menuju jaringan dan kemitraan, dan Frederickson (2012) tentang pelibatan aktor non negara dalam urusan pemerintahan. Sedangkan analisis tentang transformasikolaborasi dalam pengelolaan pariwisata-bencana merujuk pada 4 konsep utama yaitu Anshel & Gash (2007) tentang konsensus yang melibatkan stakeholder non negara, John Wanna (2008) tentang skala kolaborasi yang diperkuat oleh Peter Shergold (2008) tentang transformasi kolaborasi, dan Eppel (2013) tentang karakteristikrelationshipdiantara stakeholderdalam melakukan kolaborasi. Dari data dokumentasi, wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD) dengan berbagai stakekholder dari pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan volcano tour Merapi, menghasilkan temuan penelitian yaitu: pertama, keterlibatan aktor non negara dalam urusan pemerintahan dikarenakan masing-masing mempunyai keterbatasan dalam sumberdaya. Kedua, intensitas hubungan diantara stakeholder sebagian besar masih berkategori sedang. Ketiga, transformasi kolaborasi berlangsung dari komando yang mencirikan adanya hirarki menuju pada kolaborasi yang membentuk jejaring dan kemitraan. Keempat, tahapan pengelolaan pariwisata-bencana yang dilakukan secara transformatif dan runtut mulai dari shared vision, partisipasi, jejaring dan kemitraan, akan tercipta pariwisata-bencana yang berkelanjutan. Implikasi teoritis dari disertasi ini adalah: 1) teori governance dariOsborne, Bevir dan Frederickson sangat relevan untuk menganalisis peran aktor non negara dalam pemerintahan, tetapi tesis Osborne tentang negosiasi tidak relevan karena pelibatan aktor non negara dalam urusan pemerintahan lebih cenderung karena kebutuhan. 2) Konsep dari Anshel & Gash tentang konsensus diantara stakeholder terverifikasi dalam kasus hubungan
antara pemerintah dengan swasta, namun untuk hubungan antara swasta dan masyarakat masih bersifat transaksional. 3) Intensitas hubungan diantara stakeholder sangat relevan dijelaskan dengan menggunakan konsep Wanna yang selanjutnya dapat diidentifikasi mengenai proses transformasi yang terjadi dalam kolaborasi dengan menggunakan konsep Shergold. 4) Konsep dari Eppel sangat relevan untuk menjelaskan karakteristik relationship diantara stekholder, namun tesis Eppel tentang perlunya formalisasi dalam relationship terkoreksi, karena tanpa formalitas sudah terjadi kolaborasi diantara stakeholder.
Kata Kunci: Pariwisata-bencana,Governance,Collaborative Governance.