POLITIK HUKUM PILKADA & DESAIN BADAN PERADILAN KHUSUS
Abstract
Pengantar Penulis
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt, karena dengan pertolongan dan petunjuk-Nya proses penulisan buku ini dapat berjalan lancar dan dapat hadir di hadapan pembaca. Sholawat dan salam semoga tercurah keharibaan Nabi dan Rasul Muhammad Saw yang telah memberikan bimbingan ke alam pencerahan. Sebagai umat yang telah berada dalam alam pencerahan tentu harus memiliki tanggungjawab dan komitmen yang kokoh untuk menjadi manusia yang selalu bermanfaat dan berkarya bagi bangsa dan negara.
Gagasan penulisan buku ini berawal dari penelitian penulis mengenai Desain Badan Peradilan Khusus dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Penulisan ini bertujuan memberikan sumbangsih pemikiran dalam pembentukan badan peradilan khusus yang harus sudah terbentuk maksimal pada tahun 2023. Hal ini dilatarbelakangi pentingnya badan peradilan khusus sebagai lembaga yang menjamin tegaknya pilkada yang berintegritas yang sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Pelaksanaan pilkada harus dilakukan dengan sistem yang mendasarkan pada prinsip free and fair melalui sistem yang baik dan integraif, antara lain: (1) tersedianya kerangka hukum materiil maupun formil yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, kontestan (pasangan calon), dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing; (2) terselenggaranya seluruh kegiatan atau tahapan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan; (3) terintegrasinya proses penegakan hukum (electoral law enforcement) terhadap aturan-aturan pemilihan pilkada.
Keberadaan lembaga peradilan yang berwibawa juga menjadi salah satu kunci sukses dalam pilkada, sebab sukses pemilu tidak hanya diukur dari pelaksanaan pemungutan suara, melainkan juga ditentukan dari bagaimana penyelesaian sengketa yang mengiringinya. Dalam kaitan itu pranata peradilan yang ada sekarang dirasakan masih memiliki keterbatasan dan belum memadai untuk mewujudkan keadilan Pilkada. Terdapat loopholes (lubang) dalam mekanisme electoral dispute resolution (EDR) negara ini, sehingga untuk menambal lubang tersebut diperlukan kajian ilmiah sebagai jawaban atas amanah Pasal 157 ayat (1) Undang-undang No.10 Tahun 2016: “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”.
Uraian komprehensif terkait permasalahan aktual Badan Peradilan Khusus disusun dalam satu rangkaian tulisan yang tediri atas enam bab, yaitu: Bab I membahas konsep Demokrasi, Pemilu dan Negara Hukum. Konsepsi ini sebagai pijakan teoritis dalam membangun sistem demokrasi yang mengarah pada pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan hukum maupun penyelenggaraan negara hukum yang demokratis. Demokrasi dan hukum ibarat dua sisi mata uang yang saling memberikan warna dalam mengelola negara, tanpa keduanya mustahil sebuah negara akan berdiri kokoh.
Bab II membahas Politik Hukum Pilkada yang menjadi arah kebijakan pilkada yang selalu mengalami pasang surut, hingga akhir menentukan desain pemilu nasional serentak di Indonesia. Bab III membahas mengenai sengketa pilkada yang merupakan implikasi dari timbulnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan dan hasil pilkada.
Bab IV membahas secara khusus mengenai Politik Hukum Lembaga Penyelesai Sengketa Pilkada. Berkaitan dengan kebijakan lembaga penyelesai sengketa Pilkada, tidak dapat dipungkiri masih mengalami pasang surut yang sangat dipengaruhi oleh politik hukumnya. Pada awal penyelenggaraan pilkada, berdasarkan pada ketentuan Pasal 106 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pilkada adalah Mahkamah Agung (MA). Penyelesaian sengketa oleh MA (cq PT) ini tidak berlangsung lama, Putusan MK No.072-073/PUU-II/2004 telah memberikan pilihan hukum bagi pembentuk undang-undang untuk memasukkan pilkada menjadi bagian rezim Pemilu yang kemudian ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan menerbitkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa pilkada sebagai rezim pemilu dengan nomenklatur ‘pemilukada’. Selanjutnya, melalui ketentuan Pasal 236C UU No.12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali melalui Pasal 29 huruf e UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur ketentuan bahwa MK memiliki “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang” yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa ”dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kelembagaan penyelesaian sengketa hasil pilkada kembali terguncang karena melalui Putusan No.97/PUU-XI/2013, MK menyatakan kewenangannya dalam penyelesaian sengketa pilkada adalah inkonstitusional. Putusan tersebut akhirnya ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015. Undang-Undang ini mengembalikan kewenangan sengketa pilkada kepada MA. Namun, belum sempat UU dilaksanakan, UU No.1/2015 tersebut telah diubah menjadi UU No 8 Tahun 2015 dan diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 157 kedua UU terakhir menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus dan sebelum badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan penyelesaian sengketa pilkada diselesaikan oleh MK.
Selanjutnya Bab V dan Bab VI membahas secara komprehensif mengenai desain badan peradilan khusus yang berwenang menyelesaikan sengketa pilkada. Desain badan peradilan khusus yang tentu harus memiliki rujukan konstitusional yang jelas. Fakta berbagai jenis pengadilan khusus yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa belum ada desain kebijakan hukum yang ajeg dalam pembentukan pengadilan khusus, khususnya pada aspek independensi dan konsistensi. Pengadilan khusus dibentuk hanya berdasarkan pada desain yang standar.
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”. Jika merujuk pada struktur peradilan yang ada, kita dapat mengkonsolidasikan semua ide tentang lembaga peradilan yang bersifat khusus secara pasti ke dalam salah satu lingkungan peradilan yang ditentukan oleh UUD 1945 itu. Semua bentuk dan jenis pengadilan khusus harus dikembalikan hakikat keberadaannya dalam konteks lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, atau peradilan militer.
Berkaitan dengan badan peradilan khusus sebagai lembaga yang berfungsi menangani sengketa hasil pilkada tentu hanya dapat dilakukan pada lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan tata usaha negara. Namun persoalannya adalah apakah akan dibentuk peradilan khusus (tersendiri) pada lingkup peradilan umum atau peradilan tata usaha negara ataukah menyerahkan kompetensi peradilan khusus sengketa hasil pilkada kepada lembaga yang sudah ada (misalnya PT atau PT TUN).
Secara konstitusional juga tidak tertutup kemungkinan untuk dibentuknya badan peradilan khusus pada Bawaslu atau memberikan kewenangan peradilan khusus kepada Bawaslu (Bawaslu RI maupun Bawaslu Provinsi). Hal ini tentu dilatarbelakangi bahwa Bawaslu telah memiliki kewenangan penyelesaian sengketa/ adjudikasi sengketa pemilu dan Pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 93-95 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pembahasan Bab I – Bab VI merupakan bagian yang tak terpisahkan, dan untuk memahami buku ini secara komprehensif harus merunut dari pembahasan bab awal sampai akhir. Hal ini diperlukan agar adanya pemahaman sistematis dan komprehensif mengenai pertentangan norma hukum dalam pengujian undang-undang.
Atas selesainya buku ini, penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi yang telah menyediakan dana penelitian pada tahun 2017-2018. Penulis juga menyampaikan terim kasih kepada Dr. Gatot Supangkat beserta seluruh staf LP3M UMY serta Pimpinan Fakultas Hukum UMY untuk segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada kolega dosen HTN dan HAN FH UMY atas inspirasi dan kontribusi pemikiran yang diberikan selama penelitian dilakukan.
Terakhir, dengan selalu berharap semoga buku bertajuk “Politik Hukum Pilkada dan Desain Badan Peradilan Khusus” ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya peneliti, dosen, mahasiswa, praktisi hukum, politisi serta masyarakat pada umumnya yang memiliki minat di bidang kepemiluan.
Salam sukses selalu untuk semua.
Yogyakarta, 28 Oktober 2019
Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL
Tanto Lailam, S.H., LL.M.