dc.description.abstract | Al-Quran harus dipahami dan karenanya memerlukan ‘tafsir”. Untuk menafsirkannya, seseorang atau sekelompok orang harus memahami sejumlah instrumen dan kaedah penafsirannya yang telah dibakukan. Ketiadaan, kekurangan dan penambahan atas sejumlah instrumen dan kaedah yang telah ‘dibakukan’, mengakibatkan penyimpangan-penyimpangan yang, pada akhirnya, dapat dikatakan sebagai kesalahan dalam penafsiran kitab suci tersebut. Demikianlah tesis utama az. Zahabi. Sementara itu, dalam pandangan Arkoun, al-Quran dapat dibaca dan karenanya dapat ditafsirkan dengan berbagai cara tanpa harus terikat dengan instrumen dan kaedah tertentu yang dibakukan. Karena, menurut Arkoun, penetapan instrumen dan kaedah oleh seseorang dan atau sekelompok orang yang ‘dibakukan’ justeru akan membuat para penafsir terperangkap oleh ‘kuasa’ tertentu yang bersifat hegemonik, yang pada akhirnya menjadikan al-Quran sebagai kitab yang tertutup untuk dipahami dengan berbagai macam cara. Kedua cara pandang itulah yang –hingga saat ini – memunculkan ketegangan kreatif dalam wacana hermeneutika al-Quran. Deskripsi dua sisi pandang tersebut sekaligus – secara elementer – dikaji dalam tulisan ini, dalam rangka memberikan kritik konstruktif untuk kepentingan kajian al-Quran yang lebih terbuka. | |