Konsep Ingsun dalam Paham Tasawuf Siti Jenar
Abstract
Penelitian disertasi ini bermula dari kegelisahan akademik penulis seputar pernyataan Iya Ingsun Iki Allah, Sungguh Aku ini Allah, yang terdapat dalam sejumlah teks yang membahas ajaran paham tasawuf Siti Jenar. Pernyataan itu memicu kontroversi di kalangan masyarakat yang berujung pada kesimpulan bahwa tokoh Seh Siti Jenar – yang dihubungkan dengan kerajaan Islam Demak – dianggap sesat karena menyatakan akunya sebagai Tuhan. Sebenarnya pernyataan senada pernah juga diucapkan oleh al-Hallaj di Baghdad yang mengatakan Anā al-Haqq. Karena pernyataan itu kedua tokoh tersebut menerima hukuman mati. Meskipun demikian, paham dua tokoh tersebut diterima sebagai paham kebatinan (spiritual). Di antara sumber paham tasawuf Siti Jenar berupa sumber teks tertulis yang ditulis oleh orang lain. Salah satu teks yang memuat ajaran paham tasawuf Siti Jenar adalah Serat Siti Jenar Ingkang Tulèn yang memuat kalimat Iya Ingsun Iki Allah.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengangkat disertasi ini dengan judul Konsep Ingsun dalam Paham Tasawuf Siti Jenar (Telah terhadap Serat Siti Jenar Ingkang Tulèn Salinan Mas Harjawijaya), dengan pertanyaan penelitian: pertama, apa makna ingsun dalam konteks Budaya dan Bahasa Jawa? Kedua, apa makna ingsun dalam teks Serat Siti Jenar Ingkang Tulèn Salinan Mas Harjawijaya hubungannya dengan paham tasawuf Sèh Siti Jenar? Ketiga Bagaimana implikasi paham tasawuf Sèh Siti Jenar terhadap dinamika keagamaan dan sosial kalangan masyarakat Islam di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis menggunakan teori sastra filologi, semiotika-intertekstualitas nya Julia Kristeva, semantiknya Toshihiko Izutsu, dan teori tasawuf. Dalam membahas disertasi ini penulis mengunakan analisis isi.
Disertasi ini berhasil mengungkap: pertama, ingsun secara harfiah sama artinya dengan saya atau aku. Kata lain dalam bahasa Jawa yang searti dengan ingsun adalah kawula, kula, abdi, dalem, ulun, nghulun, ingwang, mami, kita, ingong, ngong, inyong, dan nyong. Ingsun merupakan kata yang hanya digunakan dalam lingkup yang terbatas. Kedua, pengguna kata ingsun adalah: para guru rohani di hadapan para muridnya; pembicara dan lawan bicara, keduanya mempunyai derajat sama atau terlibat dalam persoalan konflik; sebagai ucapan simbolik bagi pelaku rohani yang mencapai puncak pengalaman spiritual; dan sebagai ungkapan untuk menjelaskan tentang hakikat Tuhan. Ketiga, dalam perkembangannya, kata ingsun secara praktis digunakan di kalangan kalangan elit (ningrat atau bangsawan kerajaan), dan digunakan dalam bahasa sastra dan tembang. Sementara itu, mereka yang berada di luar kekuasaan dan ningrat, menggunakan kawula dan tidak semestinya mengucapkan kata ingsun. Keempat, pengucapan ingsun menimbulkan konskuensi sosilogis, teologis, dan mistis sekaligus. Kelima, meskipun tokoh Sèh Siti Jenar mengalami nasib tragis, namun ajaran dan paham kebatinannya terus berlangsung. Bukti keberlangsungan paham tasawuf Siti Jenar ini adalah terbitnya puluhan buku yang sebagian besar berusaha untuk menafsirkan kembali ajaran dan paham tasawuf Siti Jenar. Hal ini membuktikan paham tasawuf Siti Jenar diterima dan hidup di masyarakat.