Ajaran Tasawuf dalam Serat Siti Jenar
Abstract
Tesis ini berusaha merngungkap ajaran tasawuf dalam Serat Siti Jenar Sunan Giri Kadhaton, dengan menggunakan pendekatan analisis isi. Terungkap bahwa dalam Serat ini terdapat ajaran tentang Nungkat gaib, sahing tekad kang premati dan asma pepitu merupakan tiga unsur utama dalam bangunan filsafat tasawuf Serat Siti Jenar Sunan Giri Kadhaton.
Nungkat gaib dipahami sebagai titik diakritik atau aspeks ke-Allah-an dalam kaitannya dengan awal penciptaan pertama secara ontologis. Sahing tekad kang premati dipahami sebagai proses emanasi Allah sehingga mewujudkan Diri-Nya sebagai alam semesta. Dan asma pepitu tidak lain adalah terjemahan martabat sab’ah itu untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan manusia sempurna melalui al-Haqiqat al-Muhammadiyah Berkaitan dengan konsep al-insan al-kamil (manusia sempurna) Serat Siti Jenar cukup menyebutkannya dengan Allah Muhammad. Allah sebagai representasi dunia batin yang paling sempurna dan mutlak dan Muhammad sebagai representasi manusia di dunia yang paling sempurna. Melalui tiga ajaran, yaitu; nungkat gaib, sahing tekad kang premati dan asma pepitu, manusia sebagai hamba bisa menjadi Allah Muhammad sebagai pengejawantahan diri manusia sempurna.
Tentang konsep pengalaman menyatu sebagai Ingsun (Ana al-Haqq), menurut penuturan para wali ajaran tersebut tidak boleh disebarkan kepada sembarang orang. Karena bila dipahami secara tidak cermat bisa membahayakan bagi orang yang mempelajarinya maupun orang lain. Pengalaman ruhani menyatu seperti ittihad atau hulul haruslah dimusyawarahkan dengan orang-orang yang lebih arif, sehingga tidak diperoleh kesimpulan serta pemahaman yang keliru.
Sementara itu, hubungan antara syari’ah dengan tasawuf yang diungkapkan dalam Serat Siti Jenar Sunan Giri Kadhaton seakan terjadi pertentangan satu sama lain, apalagi bila konteks penolakan syari’ah tersebut didasarkan pada pernyataan Siti Jenar. Ternyata bila dipahami secara lebih cermat diperoleh kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Siti Jenar adalah benar. Pada keadaan seorang sufi mengalami Ingsun, maka aturan-aturan syari’ah menjadi tidak penting, bahkan tidak diperlukan lagi. Karena yang terjadi adalah hubungan Ingsun sebagai manusia menyatu Ingsun sebagai Tuhan. Serat Siti Jenar berupaya untuk mengharmoniskan antara tasawuf dengan syari’ah. Hal ini bisa terlihat pada penggunaan istilah Allah Muhammad pada serat tersebut. Pada istilah Allah Muhammad, mengandung maksud bahwa Allah sebagai sumber seluruh persoalan tasawuf (batin) sedangkan Muhammad sebagai sumber seluruh persoalan syari’ah (dzahir). Sehubungan dengan istilah Allah Muhammad, maka dapat dipahami bahwa di diri Muhammad SWA., terakum seluruh kualitas dan sifat-sifat ke-Allah-an yang sempurna. Selain itu, melalui pemahaman serat tersebut syari’ah dan tasawuf harus bersanding dan tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Karena syari’ah tasawuf merupakan wajah Islam itu sendiri, di mana identitas tasawuf dalam Serat Siti Jenar Sunan Giri Kadhaton lebih dekat dengan konsep tasawuf yang diajarkan oleh Samsuddin Sumatrani, yaitu suatu tasawuf yang senantiasa menggabungkan tasawuf falsafi dengan syari’ah. Sedangkan, berkaitan dengan pelaksanaan ekskusi hukuman mati yang dijatuhkan kepada Siti Jenar, tidaklah harus dipahami sebagai upaya untuk menolak ajaran tasawuf, melainkan sebagai penjelasan bahwa meskipun manusia dengan Allah bisa menyatu secara ruhaniah, tetapi tetap bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain. Selamanya Allah tidak bisa dilenyapkan, tetapi Siti Jenar sebagai hamba bisa dibunuh bahkan bisa dilenyapkan. Tulisan kalimat tayyibah di langit pada saat meninggalnya Siti Jenar di pedang algojo sebagai bukti bahwa sikap para wali tidak menolak ajaran Siti Jenar.