Show simple item record

dc.contributor.authorHARIYANTO, MUHSIN
dc.date.accessioned2016-09-28T14:34:04Z
dc.date.available2016-09-28T14:34:04Z
dc.date.issued2010-07
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/3395
dc.description.abstractAl-Quran yang seharusnya mengalir menjadi bagian dari urat nadi kehidupan setiap muslim, kini seakan-akan telah mati menjadi “monumen” yang tergolek di sudut peradaban. Ia hanya amat populer pada setiap acara seremonial umat Islam: “kelahiran, perkawinan, perhelatan resmi dan upacara kematian.” Itu pun ditampilkan hanya sekadar sebagai instrumen yang lebih bersifat suplementer. Bukan benar-benar menjadi ruh dan – apalagi – dihormati sebagai layaknya kumpulan firman Tuhan yang teramat suci untuk sekadar diperdengarkan isinya dengan lantunan indah para pembaca yang memang – konon – dikontrak untuk sekadar membacakannya. Ruh tajdîd baik yang bermakna pemurnian maupun pembaruan seakan-akan tidak lagi bersinar dalam setiap pembacaan kitab suci al-Quran, karena kita telah salah menyikapinya. Al-Quran – dalam komunitas kita (baca: umat Islam) – “kini” ternyata tidak lebih sekadar sebagai hiasan, dan tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya sebagai “sumber inspirasi”. Umat Islam yang dahulu pernah berjaya dengan kitab suci al-Quran, kini dengan kitab suci yang sama mereka terpuruk di pinggir peradaban.Padahal, Allah (Tuhan kita) telah memberikan kemuliaan kepada kita dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia.
dc.publisherSUARA MUHAMMADIYAHen_US
dc.subjectSUMUR ...en_US
dc.titleAL-QURAN: SUMUR YANG TAK PERNAH KERINGen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record