Show simple item record

dc.contributor.authorHARIYANTO, MUHSIN
dc.date.accessioned2016-10-17T23:21:16Z
dc.date.available2016-10-17T23:21:16Z
dc.date.issued2016-10-18
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/5193
dc.description.abstractBagi penggemar ‘pertunjukan wayang kulit’, pasti mengenal istilah Tancep Kayon. Arti sebenarnya adalah: “menancapkan kayon”, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para ksatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa. Namun tancep kayon juga bisa bermakna ‘pertunjukan selesai’. Penonton ‘harus’ pulang dengan kesan masing-masing. Karena wayang adalah gambaran “bhuwana alit” atau dunia yang kecil, dalam “bhuwana agung” atau kisah keseharian umat manusia, begitu banyak ada kisah yang silih berganti. Namun, intinya (substansinya) ‘tetap’, yaitu perang antara kebenaran dan ketidakbenaran. Lakon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polisi Republik Indonesia (Polri) – misalnya — hanyalah sebuah contoh. Tokohnya banyak, yang mendompleng ‘ingin’ menjadi tokoh juga banyak. Di satu sisi ada AS, BW, APD dan Z dan di sisi lain ada BG dan kawan-kawannya. Di seberangnya ada Presiden, Ketua Partai, Para Menteri dan sejumlah Pemangku Kepentingan. Lalu di antara dua sisi itu ada ‘Tim Independen dan Para Pengacara’ dan masih banyak ‘pendekar’ lainnya, baik yang terang-terangan memihak salah satu maupun (secara) sembunyi-sembunyi.en_US
dc.publisherUNIRES UMYen_US
dc.subjectAKHLAKen_US
dc.titleBERKACA PADA KISAH “GATOTKACA WINISUDA”en_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record