MEMBANGUN DEMOKRASI BERWAWASAN ETIS, MUNGKINKAH?
Abstract
AL-QURAN maupun Hadis sama sekali tidak pernah menyebut kata “demokrasi”, yang padanan katanya dalam bahasa Arab juga tidak ditemukan. Karena demokrasi merupakan bagian dari nomenklatur dan tradisi Barat. Hingga dalam literatur Arab, pada umumnya kata "demokrasi" diterjemahkan dengan kata "dimuqrâthiyyah". Pro-kontra tentang keabsahan demokrasi menurut kaedah syari'at Islam hingga kini masih menjadi perdebatan panjang. Sayangnya, dua kubu yang berbeda pandangan seringkali tidak mengawali perdebatannya dengan sikap empati, bahkan lebih menonjolkan sikap antipati. Sehingga pencarian titik-temu antara dua kutub yang berseberangan itu nampakknya hanya akan tetap menjadi mimpi panjang. Padahal syari'at Islam sama sekali tidak pernah mengisyaratkan larangan untuk berdemokrasi, tetapi justeru mengingatkan agar dalam bermusyawarah selalu mengedepankan pertimbangan etis. Salah satunya adalah sikap tasâmuh (toleransi), yang pada saatnya bias dikembangkan menjadi sikap saling memahami dan menghargai perbedaan untuk mencari titik-temu menuju satu kesatuan pendapat: "pro-syari'ah (Islam)" dengan upaya optimal untuk membangun argumentasi yang selaras dengan prinsip-prinsip syari'ah. Sehingga, atas nama apa pun kesepakatan dalam bermusyawarah sama sekali tidak diperkenankan dengan cara melanggar prinsip-prinsip syari'ah.