Show simple item record

dc.contributor.authorGUNAWAN, YUSUF KHAIRUL
dc.date.accessioned2017-04-28T01:56:39Z
dc.date.available2017-04-28T01:56:39Z
dc.date.issued2016-09-06
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/10210
dc.descriptionProstitusi merupakan penyakit masyrakat/penyimpangan sosial masyarakat yang dilakukan secara terorganisir yang terdiri dari mucikari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Aturan hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur mengenai mucikari, belum mengatur tentang PSK dan lelaki hidung belang. Belum adanya aturan mengenai PSK dan lelaki hidung belang di hukum positif Indonesia mengakibatkan praktek prostitusi ini tetap ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari penulis dari penulisan ilmiah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi dan kendala apa saja dalam penanggulangan masalah di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penulisan ilmiah ini menggunakan metode Pendekatan Perundang-undangan dan metode perbandingan mengenai aturan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan cara mencari data-data faktual yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi untuk membantu penulis dalam melakukan analisis. Setelah melakukan penelitian di lokasi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengambil sampel Kabupaten Bantul karena sudah memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi dan Kabupaten Sleman sebagai sampel dari wilayah Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta yang belum memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai yang mewakili dari Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta karena di Kabupaten Sleman sudah terdapat permasalahan kasusnya sementara yang lain belum ada. Wilayah DIY yang terdiri dari empat Kabupaten (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul) dan satu Kota Madya (Kota Yogyakarta) hanya kabupaten Bantul yang memiliki peraturan larangan prostitusi yaitu dengan adanya Perda Kabupaten Bantul No 5 tahun 2007, sementara lima wilayah lain termasuk kota Yogyakarta belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai sampel dari wilayah kulonprogi, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta karena terdapat kasus mengenai prostitusi yang wilayahnya tetapi belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi, sehingga untuk menindak pelaku hanya bisa secara administratif dengan perda izin gangguan untuk praktek prostitusi dengan modus tempat usaha. Diperlukan kebijakan hukum seperti yang ada di Kabupaten Bantul untuk menanggulangi permasalahan prostitusi sehingga para pelakunya dapat ditindak secara hukum. Aturan mengenai prostitusi yang belum dimiliki oleh beberapa wilayah di provinsi DIY menjadi kendala nyata masih adanya praktek prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.en_US
dc.description.abstractProstitusi merupakan penyakit masyrakat/penyimpangan sosial masyarakat yang dilakukan secara terorganisir yang terdiri dari mucikari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Aturan hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur mengenai mucikari, belum mengatur tentang PSK dan lelaki hidung belang. Belum adanya aturan mengenai PSK dan lelaki hidung belang di hukum positif Indonesia mengakibatkan praktek prostitusi ini tetap ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari penulis dari penulisan ilmiah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi dan kendala apa saja dalam penanggulangan masalah di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penulisan ilmiah ini menggunakan metode Pendekatan Perundang-undangan dan metode perbandingan mengenai aturan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan cara mencari data-data faktual yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi untuk membantu penulis dalam melakukan analisis. Setelah melakukan penelitian di lokasi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengambil sampel Kabupaten Bantul karena sudah memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi dan Kabupaten Sleman sebagai sampel dari wilayah Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta yang belum memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai yang mewakili dari Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta karena di Kabupaten Sleman sudah terdapat permasalahan kasusnya sementara yang lain belum ada. Wilayah DIY yang terdiri dari empat Kabupaten (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul) dan satu Kota Madya (Kota Yogyakarta) hanya kabupaten Bantul yang memiliki peraturan larangan prostitusi yaitu dengan adanya Perda Kabupaten Bantul No 5 tahun 2007, sementara lima wilayah lain termasuk kota Yogyakarta belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai sampel dari wilayah kulonprogi, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta karena terdapat kasus mengenai prostitusi yang wilayahnya tetapi belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi, sehingga untuk menindak pelaku hanya bisa secara administratif dengan perda izin gangguan untuk praktek prostitusi dengan modus tempat usaha. Diperlukan kebijakan hukum seperti yang ada di Kabupaten Bantul untuk menanggulangi permasalahan prostitusi sehingga para pelakunya dapat ditindak secara hukum. Aturan mengenai prostitusi yang belum dimiliki oleh beberapa wilayah di provinsi DIY menjadi kendala nyata masih adanya praktek prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.en_US
dc.publisherFH UMYen_US
dc.subjectProstitusi, kebijakan hukum pidana, mucikari, PSK, lelaki hidung belang.en_US
dc.titleKEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record