Show simple item record

dc.contributor.authorAZIZAH, NUR
dc.date.accessioned2017-08-29T22:14:52Z
dc.date.available2017-08-29T22:14:52Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.isbn978-602-7577-13-8
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/13853
dc.descriptionKuota merupakan salah satu strategi yang ditempuh gerakan perempuan untuk menginklusikan perempuan dalam demokrasi dan perwakilan. Kebijakan ini ditujukan untuk menghadirkan perimbangan akses perempuan dan laki-laki dalam pembuatan keputusan politik.1 Penggunaan strategi kuota terbukti telah mampu meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 56,3% di Rwanda (2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% di Africa Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008).2 Kesuksesan ini menginspirasi negara-negara lain sehingga kini sudah lebih dari 100 negara mengadopsi strategi serupa. Meski demikian kontroversi terhadap kebijakan ini sangat tinggi. Buku ini akan memberikan gambaran tentang proses advokasi dan hambatan yang ditemui dalam pengusulan kebijakan kuota perempuan di DPR-RI periode 1999-2007. Demokratisasi yang berlangsung paska kejatuhan Suharto mendorong munculnya pertanyaan “Apa yang dapat dilakukan perempuan dalam membangun demokrasi Indonesia?” Penurunan keterwakilan perempuan dalam pemilu 1999 menyadarkan perempuan bahwa mereka harus menuntut affirmative action dibidang politik. Meski upaya advokasi yang dilancarkan gerakan perempuan tersebut mencatat sejumlah kemajuan, namun upaya tersebut juga menghadapi resistensi yang sangat besar dari kalangan DPR. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa usulan kuota perempuan sulit diterima karena para anggota DPR pada umumnya menggunakan mindset liberal dalam melihat permasalahan rendahnya keterwakilan perempuan. Menurut liberal, keterwakilan perempuan seharusnya merupakan hasil dari ’usahanya sendiri’ (by itself) bukan dengan melalui intervensi yang ’tidak alamiah’ (unnatural intervention-kuota). Keterwakilan adalah keterwakilan idea, bukan keterwakilan kelas sosial, kategori dan harus didasarkan pada prinsip ’let the best win’. Kuota dianggap pengingkaran terhadap prinsip meritokrasi meski dimaksudkan untuk sebuah tujuan yang baik. Dalam sebuah seleksi prinsipnya adalah equal opportunity bukan equality of result. Peningkatan jumlah perwakilan perempuan membutuhkan waktu, bergantung pada kesiapan perempuan itu sendiri. Jika dipaksakan maka akan menghasilkan perempuan-perempuan wakil rakyat yang tidak berkualitas. 3 Penggunaan pola pikir liberal ini terlihat dari argumen-argumen yang diajukan para anggota DPR ketika mereka menolak usulan kuota perempuan dalam proses pembuatan Undang-undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilu DPR.4en_US
dc.description.abstractKuota merupakan salah satu strategi yang ditempuh gerakan perempuan untuk menginklusikan perempuan dalam demokrasi dan perwakilan. Kebijakan ini ditujukan untuk menghadirkan perimbangan akses perempuan dan laki-laki dalam pembuatan keputusan politik.1 Penggunaan strategi kuota terbukti telah mampu meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 56,3% di Rwanda (2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% di Africa Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008).2 Kesuksesan ini menginspirasi negara-negara lain sehingga kini sudah lebih dari 100 negara mengadopsi strategi serupa. Meski demikian kontroversi terhadap kebijakan ini sangat tinggi. Buku ini akan memberikan gambaran tentang proses advokasi dan hambatan yang ditemui dalam pengusulan kebijakan kuota perempuan di DPR-RI periode 1999-2007. Demokratisasi yang berlangsung paska kejatuhan Suharto mendorong munculnya pertanyaan “Apa yang dapat dilakukan perempuan dalam membangun demokrasi Indonesia?” Penurunan keterwakilan perempuan dalam pemilu 1999 menyadarkan perempuan bahwa mereka harus menuntut affirmative action dibidang politik. Meski upaya advokasi yang dilancarkan gerakan perempuan tersebut mencatat sejumlah kemajuan, namun upaya tersebut juga menghadapi resistensi yang sangat besar dari kalangan DPR. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa usulan kuota perempuan sulit diterima karena para anggota DPR pada umumnya menggunakan mindset liberal dalam melihat permasalahan rendahnya keterwakilan perempuan. Menurut liberal, keterwakilan perempuan seharusnya merupakan hasil dari ’usahanya sendiri’ (by itself) bukan dengan melalui intervensi yang ’tidak alamiah’ (unnatural intervention-kuota). Keterwakilan adalah keterwakilan idea, bukan keterwakilan kelas sosial, kategori dan harus didasarkan pada prinsip ’let the best win’. Kuota dianggap pengingkaran terhadap prinsip meritokrasi meski dimaksudkan untuk sebuah tujuan yang baik. Dalam sebuah seleksi prinsipnya adalah equal opportunity bukan equality of result. Peningkatan jumlah perwakilan perempuan membutuhkan waktu, bergantung pada kesiapan perempuan itu sendiri. Jika dipaksakan maka akan menghasilkan perempuan-perempuan wakil rakyat yang tidak berkualitas. 3 Penggunaan pola pikir liberal ini terlihat dari argumen-argumen yang diajukan para anggota DPR ketika mereka menolak usulan kuota perempuan dalam proses pembuatan Undang-undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilu DPR.4en_US
dc.publisherLP3M UMY & Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta |en_US
dc.subjectAdvokasi ; Kuota Perempuan ; Indonesiaen_US
dc.titleADVOKASI KUOTA PEREMPUAN DI INDONESIAen_US
dc.typeBooken_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

  • Books
    Berisi buku-buku karya dosen UMY yang diterbitkan oleh penerbit selain UMY Press dan buku ajar dosen.

Show simple item record