dc.contributor.advisor | AZMAWATI, DIAN | |
dc.contributor.author | NOOR, MUHAMMAD RYZALDI | |
dc.date.accessioned | 2017-11-14T06:49:03Z | |
dc.date.available | 2017-11-14T06:49:03Z | |
dc.date.issued | 2017-04-07 | |
dc.identifier.uri | http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/16064 | |
dc.description | Latar Belakang Masalah: Saat ini di Jepang, materi eksplisit bersifat seksual yang memenuhi semua jenis minat dan fetish erotis mudah tersedia. Namun, ketersediaan pornografi modern ini tergolong baru. Pada dasarnya pasca Perang Dunia II dengan pengenaan oleh peraturan militer Amerika, yang berlangsung sampai tahun 1951, ada larangan terhadap segala macam materi seksual. Ini berlanjut di bawah pemerintahan Jepang sampai akhir 1980. Pada awal 1960-an, beberapa studio film mulai memproduksi "film pink (pinku eiga)". Meski film pink berhubungan dengan seks, namun cenderung lebih fokus pada cerita. Pada saat bersamaan dengan meningkatnya permintaan akan layanan industri dewasa, pelaku bisnis di industri dewasa (dalam hal ini Yakuza) berinisiatif untuk mencari wanita yang akan dipekerjakan dari luar Jepang yang kebanyakan berasal dari negara-negara miskin. Akibatnya, seiring dengan perkembangan industri orang dewasa, semakin banyak wanita diperdagangkan ke jepang.
Tujuan: Tujuan penelitian dari skripsi ini adalah untuk meneliti sejarah budaya orang Jepang dalam kaitannya dengan industri dewasa, efek negatif yang dihadapi industri dewasa, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jepang untuk mengatur industri dewasa, dan bagaimana berubahnya kebijakan sebelum dan setelah era film pink mempengaruhi industri dewasa. Penulis percaya bahwa dari penjelasan di atas dapat dilihat beberapa alasan menarik mengenai industri dewasa dan patut untuk diteliti lebih lanjut dalam studi hubungan internasional.
Metodologi: Cara mengumpulkan data dan sumber untuk menyelesaikan skripsi ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dimana data dan sumber daya dikumpulkan dari buku, jurnal, e-book, sumber internet, dan lainnya yang mengacu pada film dan industri Jepang.
Hasil: Berdasarkan penelitian tersebut, penulis melihat bahwa industri dewasa di Jepang adalah industri rumit yang memiliki sejarah panjang. Industri dewasa masih bisa beroperasi hingga saat ini karena ada faktor legal, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan bisnis ini terus berlanjut. Masalahnya tidak hanya berasal dari industri itu sendiri tapi juga dari peraturan yang diambil oleh pemerintah Jepang, yaitu Pasal 175 KUHP Jepang atau sering disebut sebagai hukum kecabulan. Hukum kecabulan dalam keadaannya saat ini memiliki konsekuensi hukum dan sosial yang negatif. Ambiguitas undang-undang tersebut menghalangi sistem pengadilan dalam analisis dan munculnya kasus-kasus yang tidak perlu, yang menyebabkan ketidakpastian terutama di sisi pembuat film dan seniman industri dewasa. | en_US |
dc.description.abstract | Background: Presently in Japan, sexually explicit materials which cater to all sorts of erotic interests and fetishes are readily available. However, this availability of modern pornography is relatively new. Essentially post World War II with imposition by the American military rules, which lasted until 1951, there was prohibition of any sexually explicit material. This continued under the Japanese government until into the late 1980. In the early 1960s, several movie studios began producing "pink films (pinku eiga)". Even though pink films may be concerned with sex, but tend to focus more on the story. At the same time as the demand for adult industry services increases, business people in the adult industry (in this case the Yakuza) take the initiative to look for women who will be employed from outside Japan that mostly come from poor countries. As a result, along with the development of the adult industry, more and more women are trafficked to japan.
Goals: The goals of this undergraduate thesis are to examine the history of Japanese people’s cultures in relation to adult industry, the negative effects that adult industry has been created, the policy taken by Japanese government to regulate adult industry, and how the altering of the policy before and after the pink film era affect adult industry. The author believes that from above explanation can be seen some interesting reasons regarding adult industry and deserves to be further examined in the study of international relations.
Methodology: The ways in collecting data and sources for completing this thesis is based on library research in which the data and resources were collected from books, journals, e-books, internet sources, and others referring to Japan films and industry studies.
Result: Based on the research, the author sees that adult industry in Japan is a complex, complicated industry which has a long history. Adult industry is still able to operate until today because there are legal, economic, and cultural factors that enable this business to continue. The problems do not only come from the industry itself but also from the regulation taken by the Japanese government, which is the Article 175 of the Japanese Penal Code or often called as Obscenity law. Its obscenity law in its current state has both negative legal and social consequences. The law's ambiguity obstructs the court system in analysis and unnecessary cases, causing uncertainty especially on the side of filmmaker and artist of the adult industry. | en_US |
dc.publisher | FISIP UMY | en_US |
dc.subject | : Adult Industry, Japan, Obscenity Law, Pink Film. Industri Dewasa, Jepang, Hukum Kecabulan, Film Pink | en_US |
dc.title | JAPANESE GOVERNMENT’S REGULATION ON ADULT INDUSTRY AFTER PINK FILM ERA | en_US |
dc.type | Thesis
SKR
FISIP
444 | en_US |