dc.description | Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi pada kenyataannya tidak
semua perkawinan akan selalu bahagia dan kekal namun ada banyak perkawinan yang berakhir
dengan perceraian. Perceraian dapat berupa cerai gugat atau cerai talak.
Pada kasus yang dibahas oleh penulis perceraian ini merupakan cerai talak, yang dimana
perceraian ini dikehendaki oleh pihak suami. Pada kasus cerai talak tersebut menurut Kompilasi
Hukum Islam mantansuami diwajibkan untuk membayar nafkah iddah, nafkah terhutang,
mut’ah, dan nafkah anak. Istri dapat menuntut hak-hak nya tersebut melalui gugatan rekonvensi
yang disebutkan bersamaan dengan jawaban di persidangan maupun melalui gugatan biasa.
Hakim dapat secara ex officio membebankan mantan suami untuk membayar nafkah iddah,
mut’ah, nafkah terhutang, dan nafkah anak tanpa gugatan rekonvensi dari mantan istri. Karena
Mahkamah Agung dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017 telah menekankan kepada para Hakim
di Pengadilan untuk melindungi kaum wanita dananak-anak yang berhadapan dengan hukum
tanpa ada diskriminasi terhadap wanita dan bias gender. Tetapi apabila istri ingin menuntut hakhaknya
yang lain seperti pembagian harta bersama, pembayaran hutang bersama dan lain
sebagainya istri harus mengajukan gugatan balik ataupun gugatan biasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja hak-hak yang di dapatkan oleh seorang istri
yang di cerai talak oleh suaminya dan bagaimana cara istri tersebut untuk mendapatkan hakhaknya,
serta untuk mengetahui sejauh mana Pengadilan Agama Brebes memberikan
perlindungan kepada kaum wanita. | en_US |