dc.contributor.author | SUPRIANTO, DEDE | |
dc.date.accessioned | 2018-08-27T02:32:38Z | |
dc.date.available | 2018-08-27T02:32:38Z | |
dc.date.issued | 2018-08-27 | |
dc.identifier.uri | http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/20829 | |
dc.description | Dalam momentum politik seperti pilkada, praktik politik uang sulit untuk dihindarkan, termasuk pada perhelatan pilkada di Provinsi Bengkulu tahun 2015. Pada pilkada tersebut, pasangan calon Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah dinilai terbukti memberi uang sebesar Rp. 5 juta kepada anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Singaran Pati yang telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sehingga maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk dan pola politik uang pada pilkada di Provinsi Bengkulu tahun 2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan dokumentasi. Sedangkan yang menjadi sasaran penelitian ini adalah Bawaslu, KPUD dan Tim Sukses. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk politik uang terdiri dari vote buying sebanyak 33 kasus, vote trading sebanyak 2 kasus dan club goods sebanyak 1 kasus. Semua laporan tersebut tidak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi syarat formal dan materil serta kedaluwarsa kecuai kasus PPK Singaran Pati yang digugat pasangan Sultan-Mujiono ke Mahkamah Konstitsi. Meskipun MK akhirnya menolak gugatan tersebut berdasarkan pertimbangan ambang batas suara antara pemohon dan peraih suara terbanyak dengan selisih diantara keduanya sebesar 14%. Sedangkan pola politik uang yang digunakan kandidat terdiri atas 3 pola yaitu jaringan kekeluargaan, jaringan broker dan door to door. Jaringan kekeluargaan dipilih karena ikatan emosional yang kuat antara anggota keluarga menjadi kekuatan yang solid yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk mendistribusikan uang dan barang dengan penuh kepercayaan. Potensi untuk membelot dan menyeleweng sangat kecil karena faktor ketokohan dalam keluarga. Untuk jaringan broker dipilih karena hubungan komunikasi ke atas dan ke bawah yang baik, sehingga untuk mengambil dan mendistribusikan uang dan barang lebih mudah dan diberi jatah 20-30 orang. Sedangkan pola door to door dipilih sebagai alternatif terakhir jika pola kedua sebelumnya sudah dilakukan. Pada penelitian ini juga ditemukan perilaku pemilih yang menerima politik uang tidak serta-merta mempunyai hutang budi untuk memberikan hak suaranya. Saran dari penelitian ini adalah diharapkan setiap stakeholder baik itu penyelenggara pemilu, kandidat, partai politik dan masyarakat untuk sama-sama terlibat dalam meminimalisir kecurangan praktik politik uang, sehingga tercipta pilkada yang free and fair. | en_US |
dc.description.abstract | Dalam momentum politik seperti pilkada, praktik politik uang sulit untuk dihindarkan, termasuk pada perhelatan pilkada di Provinsi Bengkulu tahun 2015. Pada pilkada tersebut, pasangan calon Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah dinilai terbukti memberi uang sebesar Rp. 5 juta kepada anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Singaran Pati yang telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sehingga maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk dan pola politik uang pada pilkada di Provinsi Bengkulu tahun 2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan dokumentasi. Sedangkan yang menjadi sasaran penelitian ini adalah Bawaslu, KPUD dan Tim Sukses. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk politik uang terdiri dari vote buying sebanyak 33 kasus, vote trading sebanyak 2 kasus dan club goods sebanyak 1 kasus. Semua laporan tersebut tidak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi syarat formal dan materil serta kedaluwarsa kecuai kasus PPK Singaran Pati yang digugat pasangan Sultan-Mujiono ke Mahkamah Konstitsi. Meskipun MK akhirnya menolak gugatan tersebut berdasarkan pertimbangan ambang batas suara antara pemohon dan peraih suara terbanyak dengan selisih diantara keduanya sebesar 14%. Sedangkan pola politik uang yang digunakan kandidat terdiri atas 3 pola yaitu jaringan kekeluargaan, jaringan broker dan door to door. Jaringan kekeluargaan dipilih karena ikatan emosional yang kuat antara anggota keluarga menjadi kekuatan yang solid yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk mendistribusikan uang dan barang dengan penuh kepercayaan. Potensi untuk membelot dan menyeleweng sangat kecil karena faktor ketokohan dalam keluarga. Untuk jaringan broker dipilih karena hubungan komunikasi ke atas dan ke bawah yang baik, sehingga untuk mengambil dan mendistribusikan uang dan barang lebih mudah dan diberi jatah 20-30 orang. Sedangkan pola door to door dipilih sebagai alternatif terakhir jika pola kedua sebelumnya sudah dilakukan. Pada penelitian ini juga ditemukan perilaku pemilih yang menerima politik uang tidak serta-merta mempunyai hutang budi untuk memberikan hak suaranya. Saran dari penelitian ini adalah diharapkan setiap stakeholder baik itu penyelenggara pemilu, kandidat, partai politik dan masyarakat untuk sama-sama terlibat dalam meminimalisir kecurangan praktik politik uang, sehingga tercipta pilkada yang free and fair. | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.publisher | MIP UMY | en_US |
dc.subject | POLITIK UANG | en_US |
dc.subject | PILKADA | en_US |
dc.title | ANALISIS POLITIK UANG PADA PILKADA GUBERNUR PROVINSI BENGKULU TAHUN 2015 | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |