Show simple item record

dc.contributor.authorALFA, ROBBY
dc.date.accessioned2016-12-07T02:44:45Z
dc.date.available2016-12-07T02:44:45Z
dc.date.issued2016-04-30
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/6918
dc.descriptionSistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Dimana dalam pilkada tahun 2015 ini yang digunakan adalah sistem pilkada serentak. Sistem pilkada serentak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sistem pilkada serentak ini secara empiris menimbulkan banyak persoalan salah satunya adalah mengenai calon tunggal. Terhadap persoalan ini Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan dan norma baru, norma baru tersebut memperbolehkan calon tunggal untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme “setuju dan tidak setuju”. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode hukum normatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, guna menjawab persoalan calon tunggal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 sudah tepat karena menjawab persoalan konstitusional hak warga Negara dalam pilkada, adapun dampak yuridisnya adalah Komisi Pemilihan Umum merespon putusan mahkamah konstitusi ini dengan membuat aturan teknis berupa Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015. Terhadap aturan dan norma baru ini KPU harus segera mensosialisasikan sesegera mungkin kepada seluruh rakyat Indonesia.en_US
dc.description.abstractSistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Dimana dalam pilkada tahun 2015 ini yang digunakan adalah sistem pilkada serentak. Sistem pilkada serentak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sistem pilkada serentak ini secara empiris menimbulkan banyak persoalan salah satunya adalah mengenai calon tunggal. Terhadap persoalan ini Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan dan norma baru, norma baru tersebut memperbolehkan calon tunggal untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme “setuju dan tidak setuju”. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode hukum normatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, guna menjawab persoalan calon tunggal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 sudah tepat karena menjawab persoalan konstitusional hak warga Negara dalam pilkada, adapun dampak yuridisnya adalah Komisi Pemilihan Umum merespon putusan mahkamah konstitusi ini dengan membuat aturan teknis berupa Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015. Terhadap aturan dan norma baru ini KPU harus segera mensosialisasikan sesegera mungkin kepada seluruh rakyat Indonesia.en_US
dc.publisherFH UMYen_US
dc.subjectDampak Yuridis, Putusan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Calon Tunggalen_US
dc.titleDAMPAK YURIDIS PUTUSAN MK NO 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TERHADAP PILKADA SERENTAK DI INDONESIAen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record