Show simple item record

dc.contributor.advisorQODIR, ZULY
dc.contributor.authorMAULIZA, SUFIA
dc.date.accessioned2019-11-14T02:38:31Z
dc.date.available2019-11-14T02:38:31Z
dc.date.issued2019-10-25
dc.identifier.urihttp://repository.umy.ac.id/handle/123456789/30396
dc.descriptionPenelitian ini akan membahas mengenai pembangunan perdamaian di Provinsi Aceh Pasca MoU Helsinki. Lahirnya Perjanjian MoU Helsinki merupakan bentuk kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM. Adapun butir-butir MoU Helsinki yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan bentuk kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh, agar dapat mengatur pemerintahannya sendiri. Setelah adanya kesepakatan berdamai, Aceh memasuki pada tahap pembangunan perdamaian (peace building) yang diartikan sebagai proses rekonstruksi dari segi kehidupan sosial masyarakat. Pembangunan perdamaian di Aceh yang akan dilihat dari tiga aspek yaitu ekonomi, politik dan social. yang Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses reintegrasi di bidang ekonomi dimana adanya proses reintegrasi dan pemberian bantuan dana bagi mantan kombatan GAM, tahanan politik, dan korban konflik. Kedua, politik adanya pembentukan partai lokal Aceh, sehingga adanya keterlibatan mantan kombatan GAM dalam perpolitikan Aceh. Dan yang ketiga sosial, dimana adanya penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh dan pembentukan lembaga Wali Nanggroe. Meskipun Aceh sudah berdamai tak dipungkiri Aceh masih mengalami konflik didalam masyarakat khususnya didalam elit GAM. Serta turunan butir-butir MoU yang belum tuntas menjadi konflik antara pemerintah dengan GAM. Hal tersebut menjadi penghambat dalam keberlanjutan pembangunan perdamaian di Aceh. Kata Kunci: Pembangunan Perdamaian, MoU Helsinkien_US
dc.description.abstractThis research will discuss peacebuilding in the Province of Aceh after the Helsinki MoU. The birth of the Helsinki MoU Agreement is a form of agreement between the Government of Indonesia and GAM. The points of the Helsinki MoU as outlined in Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh constitute a form of authority granted by the central government to Aceh so that it can regulate its government. After the peace agreement was reached, Aceh entered the stage of peacebuilding, which was interpreted as a process of reconstruction in terms of social life. Peacebuilding in Aceh will be seen from three aspects, namely economic, political and social. The type of research used is descriptive qualitative research using a case study approach. The data collection technique is done through interviews and documentation. The results showed that the reintegration process in the economic field where the reintegration process and the provision of financial assistance for former GAM combatants, political prisoners, and conflict victims. Second, the politics of the formation of local Acehnese parties, resulting in the involvement of former GAM combatants in Aceh politics. And the third is social, where there is a strict application of Islamic law in Aceh and the formation of the Wali Nanggroe institution. Even though Aceh has made peace, it cannot be denied that Aceh still experiences conflicts within the community, especially within the GAM elite. As well as the derivative points of the MoU that have not yet been resolved into the conflict between the government and GAM. This is an obstacle in the sustainability of peacebuilding in Aceh.en_US
dc.publisherMAGISTER ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTAen_US
dc.subjectPeacebuilding, MoU Helsinkien_US
dc.titlePEMBANGUNAN PERDAMAIAN DI PROVINSI ACEH PASCA MoU HELSINKIen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record