DINAMIKA POLITIK KEISTIMEWAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA UU NOMOR 13 TAHUN 2012
Abstract
Pada Tahun 2012 Undang-Undang Keistimewaan DIY
dinyatakan resmi berlaku. Berdasarkan Undang-undang yang terdiri
dari 16 Bab dan 51 Pasal tersebut Pemerintah Pusat memberikan lima
kewenangan khusus kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Kelima kewenangan tersebut terdiri dari: Tata
cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan
Wakil Gubernur; Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
Kebudayaan; Pertanahan; dan Tata ruang. Masyarakat berharap
keistimewaan bisa menjadi solusi atas persoalan berkepanjangan
terkait hubungan antara pusat dan daerah di DIY, dan menjadi
instrument dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi yang
terjadi bukan semakin kokohnya arsitektur bangunan politik
keistimewaan DIY melainkan munculnya dinamika politik
keistimewaan yang sarat dengan seteru dan polemik. Penelitian ini
hendak mengeksplorasi bagaimana berlangsungnya dinamika politik
keistimewaan DIY sesudah diberlakukannya UU No 13 tahun 2012
serta apa saja faktor-faktor yang mendasari terjadinya dinamika politik
keistimewaan tersebut.
Ada dua teori yang dipergunakan dalam studi mengenai
”Dinamika Politik Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta”
ini, yakni teori desentralisasi yang memfokuskan pada devolusi dan
teori dispositif Foucaultian. Teori desentralisasi dipergunakan untuk
memotret dan membingkai kajian terhadap Daerah Istimewa
Yogyakarta yang mendapatkan kewenangan istimewa dari
pemerintah pusat. Sementara teori dispositif dipergunakan untuk
menganalisis dan mendeskripsikan hal ikhwal yang terkait dengan
fenomena dinamika politik yang muncul dan berkembang di DIY.
Pembahasan dilakukan dengan mengacu pada kerangka teori dalam
analisis dispositif yang meliputi: area referensi, otoritas regulasi,
prosedur regulasi dan strategi imperatif.
Penelitian ini menemukan bahwa Analisis dispositif yang
dipergunakan sebagai pisau analisis telah berkontribusi dalam
mengkonstruksi dan memetakan dinamika politik yang berlangsung di
Daerah Istimewa Yogyakarta pasca diundangkannya Undang-undang
Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Analisis atas area
referensi, otoritas regulasi, prosedur regulasi dan strategi imperatif
menunjukkan bahwa pada dasarnya substansi keistimewaan DIY
terletak pada mekanisme pengangkatan Sultan Hamengku Buwono
sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur. Adapun
empat urusan keistimewaan lainnya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Keistimewaan seperti kebudayaan, tata ruang,
pertanahan, dan kelembagaan hanyalah faktor-faktor dalam strategi
imperatif yang berfungsi sebagai instrumen atau alat untuk
memperoleh dan melanggengkan kekuasaan seluas-luasnya dan
selama-lamanya.
Dengan kata lain, Undang-undang Keistimewaan secara
terang benderang telah menjadi prototif dari sebuah instrumen legal
dalam pemberian kekuasaan oleh negara pada Sultan dan Paku Alam
secara affirmasi negatif. Undang-undang Keistimewaan DIY menjadi
dasar dan sekaligus payung hukum atas kedudukan Sultan Hamengku
Buwono sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam sebagai Wakil
Gubernur. Kedudukan tersebut ditopang oleh kekuatan ekonomi
dalam bentuk urusan keistimewaan dalam bidang pertanahan dan tata
ruang, kekuatan sosial dan simbol budaya melalui kewenangan
istimewa dalam kebudayaan, dan pelembagaan birokrasi patrimonial
melalui kewenangan istimewa kelembagaan. Hal ini menempat
Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai eksekutif pada posisi yang
dominan atas legislatif yang berdampak pada tidak dapat berjalannya
mekanisme check and balance dalam proses penyelenggaraan roda
pemerintahan di DIY.